CARA PENGENAAN UTANG PAJAK.
- CARA PENGENAAN UTANG PAJAK
Setelah mengetahui saat timbulnya utang pajak, perlu diketahui bagaimana cara pengenaan terhadap utang pajak. Menurut Teori, ada 3 (tiga) cara pengenaan pajak yang dapat dilakukan yaitu:
- Cara pengenaan di depan ( stelsel fiksi);
- Cara pengenaan di belakang ( stelsel riil);
- Cara pengenaan campuran ( stelsel fiksi dan stelsel riil).
Ad. 1. Cara Pengenaan di Depan ( Stelsel fiksi).
Pengenaan di depan merupakan suatu cara pengenaan pajak yang di dasarkan atas suatu anggapan ( fiksi) dan anggapan tersebut tergantung pada ketentuan bunyi undang-undang.
Contoh : Penghasilan seorang wajib pajak pada tahun berjalan sama dengan penghasilan tahun lalu tanpa memperhatikan kondisi yang sesungguhnya atas besarnya penghasilan pada tahun berjalan yang seharusnya menjadi dasar penetapan beasrnya utang pajak dalam tahun berjalan.
Dengan adanya anggapan demikian, maka fiskus dapat dengan mudah menetapkan besarnya utang pajak untuk tahun yang akan datang. Contoh pemajakan yang di depan adalah PPh Pasal 25 UU PPh.
Ad.2. Cara Pengenaan di Belakang ( Stelsel riil).
Pengenaan di belakang merupakan suatu cara pengenaan pajak yang di dasarkan pada keadaan yang sesungguhnya (riil) atau nyata, yang diperoleh seorang Wajib Pajak baru diketahui pada akhir tahun, maka pengenaan baru dilakukan setelah berakhirnya suatu tahun pajak. Dengan demikian, utang pajak baru akan dikenakan di belakang yaitu sesudah berakhir tahun pajak yang bersangkutan.
Ad.3. Cara Pengenaan Campuran.
Pengenan cara campuran merupakan suatu cara pengenaan pajak yang mendasarkan pada kedua cara pengenaan pajak diatas ( fiksi dan riil). Pada awal tahun pajak , fiskus mengenakan pajak berdasarkan anggapan yang ditentukan dalam undang-undang, yang selanjutnya setelah berakhirnya tahun pajak dilakukan pengenaan pajak berdasarkan keadaan yang sesungguhnya ( riil) . UU PPh. pada prinsipnya mendasarkan pengenaan dengan cara campuran ini.-
- PENAGIHAN PAJAK
Peran serta masyarakat Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban pembayaran pajak tentu sangat diharapkan sesuai dengan kerangka sistem self assessment yang dianut dalam undang-undang perpajakan sejak tahun 1983. Sistem self assessment telah memberikan kepercayaan penuh kepada masyarakat Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan pajaknya sendiri. Akan tetapi dalam w’alasan tidak melaksanakan kewajibannya membayar pajak sesuai ketetapan pajak yang diterbitkan. Tidak dilunasi utang pajak tentu saja menjadi beban administrasi tunggakan pajak. Oleh karenanya, untuk mencairkan tunggakan pajak dimaksud dilakukan tindakan penagihan pajak sesuai ketentuan yang berlaku.
Tindakan penagihan mi dilakukan berdasarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 ten tang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nornor 19 Tahun 2000. Undang-undang ini menjadi dasar hukum bagi fiskus untuk menagih utang pajak dari para Wajib Pajak yang tidak mau melunasi utang pajaknya. Tindakan penagihan berdasarkan undang-undang tersebut dilakukan baik secara persuasif maupun secara represil. Artinya, tindakan penagihan diawali dengan surat teguran, namun bila Wajib Pajak tidak mengindahkatuiya baru dilakukan tindakan secara paksa, dengan urutan tindakan penagihan seperti diuraikan di bawah ini.
Dasar Penagihan Pajak adalah :
- Surat Ketetapan Kurang Bayar Tambahan (SKBKB);
- Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT);
- Surat Keputusan Pembetulan;
- Surat Keputusan Keberatan dan;
- Putusan Banding yang rnenyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar di tambah.
Setelah dalam jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterbitkannya surat ketetapan sebagaimana dimaksud di atas, Wajib Pajak tetap tidak melunasinya barulah dilakukan suatu tindakan penagihan aktif dengan nama:
- Surat Teguran (ST) atau Surat Peringatan atau surat lain sejenis.
Penerbitan Surat Teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis merupakan tindakan awal dari pelaksanaan penagihan pajak dar pelaksanaannya harus dilakukan sebelum dilanjutkan dengan penerbitan Surai Paksa (SP).
Dalam permasalahan hukum perdata, penerbitan Surat Teguran bisa disamakan dengan istilah somasi, yaitu suatu surat yang bersifat memberi peringatan kepada pihak lain agar melakukan sesuatu yang diinginkan oleh pernberi somasi. Surat teguran ini lebih cenderung bersifat persuasif atau dengan kata lain kekuatan hukumnya lemah. Hal demikian adalah wajar karena kemungkinan besar Wajib Pajak tidak mengetahui kalau yang bersangkutan mernpunyai utang pajak.
Dasar Hukum Penagihan Pajak adalah:
– Undang-uridang Nomor 19 Tahun 1997sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000.
Ketentuan Pasal 8 ayat (1) huruf a menyatakan “Surat Paksa diterbitkan
apabila Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan kepadanya telah
diterbitkan Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis.
Sedangkan ayat (2)-nya menyatakan “Surat Teguran, Surat Peringatan atau `’surat lain yang sejenis diterbitkan apabila Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajaknya sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran.” Penulis berpendapat bahwa penerbitan Surat Teguran sebenarnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari penerbitan Surat Paksa. Dengan kata lain, Surat Paksa tidak bisa diterbitkan tanpa didahului dengan penerbitan Surat Teguran.
Selanjutnya, Pasal 8 ayat (1) huruf c, menyatakan Surat Paksa diterbitkan apabila Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam surat keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak. Pengertian ini dijelaskan bahwa dalam hal-hal tertentu, misalnya karena Penanggung Pajak mengalami kesulitan likuiditas, kepada Penanggung Pajak atas dasar permohonannya dapat diberikan persetujuan untuk mengangsur atau ‘menunda pembayaran pajak melalui keputusan pejabat. Dengan demikian, apabila kemudian Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan angSuran atau penundaan pembayaran ‘pajak, maka Surat Paksa dapat diterbitkan langsung tanpa Surat Teguran.
2 Surat Paksa.
Surat Paksa adalah surat perintah untuk membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.
Ada tiga hal yang menyebabkan diterbitkannya Surat Paksa (SP), yaitu:
- Apabila Penanggung Pajak (PP) tidak melunasi utang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo dan telah diterbitkan Surat Teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis;
b.Bahwa terhadap Penanggung Pajak telah dilakukan penagihan seketika dan sekaligus
Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan dalam keputusan persetujuan
Di dalam undang-undang penagihan pajak telah ditegaskan bahwa Surat Paksa yang diterbitkan oleh Pejabat (Pejabat adalah Kepala Kantor Pelayanan Pajak, Kepala Kantor Pelayanan Pajak dan Bangunan (KPP/KPPBB)) mempun kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal ini dapat dilihat dari Surat Paksa dengan adanya kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Kata-kata itu juga terdapat pada putusan pengadilan yang dikeluarkan oleh lembaga peradilan.
Mengingat Surat Paksa mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang tetap, maka pemberitahuan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak oleh Jurusita Pajak harus dilaksanakan dengan cara-membacakan isi Surat Paksa dan kedua belah pihak menandatangani Berita Acara Pelaksanaan Surat Paksa sebagai pernyataan bahwa Surat, Paksa telah diberitahukan.
Surat Paksa yang akan disampaikan kepada Penanggung Pajak
paling lambat setelah lampau waktu 21: (dua puluh satu) hari setelah. Surat Teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis diterbitkan. Apabila Surat Paksa diterbitkan kurang dari 21.(dua puluh satu) hari setelah. Surat Teguran diterbitkan, maka Surat Paksa menjadi batal demi hukum.
Tata Cara Penyampaian Surat Paksa
Surat .Paksa yang telah diterbitkan haruslah disampaikan oleh Jurusita Pajak yang selanjutnya Jurusita menyerahkan Salinan Surat Paksa kepada Wajak Pajak/Penanggung Pajak. Setelah Surat Paksa diberitahukan kepada Wajib Pajak barulah dibuatkan Berita Acara penyampaian Surat Paksa. Penjelasan Pasal 10 ayat (1) undang-undang menegaskan bahwa mengingat Surat Paksa adalah surat yang mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan grosse akta, yaitu •putusan pengadilan perdata yang mempunyai kekuatan hukum tetap, maka pemberitahuan kepada Penanggung Pajak oleh Jurusita pajak dilaksanakan dengan cara membacakan isi Surat Paksa dan kedua belah pihak menandatangani ‘Berita Acara Pelaksanaan Surat Paksa telah diberitahukan.
Pasal 10 ayat (3) undang-undang menegaskan bahwa.untuk menyampaikan Surat Paksa kepada orang pribadi, Jurusita Pajak harus menyerahkannya kepada:
Penanggung Pajak di tempat tinggal, tempat usaha atau tempat lain yang rnemungkinkan;
Orang dewasa yang bertempat tinggal bersama ataupun yang bekerja di tempat usaha Penanggung Pajak, apabila Penanggung Pajak yang bersangkutan tidak dapat dijumpai;
Salah seorang ahli waris atau pelaksana wasiat atau yang mengurus harta peninggalannya, apabila Wajib Pajak telah meninggal .dunia dan harta warisan belum dibagi; atau
Para ahli waris, apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan telah dibagi
.
Sedangkan Pasal 10 ayat (4) undang-undang menegaskan bahwa penyampaian Surat. Paksa untuk Wajib Pajak badan, harus disampaikan oleh Jurusita, Pajak kepada:
-Pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal, baik di tempat kedudukan badan yang bersangkutan, di tempat
tinggal mereka maupun di tempat lain yang memungkinkan; atau Pegawai tetap di tempat ,kedudukan atau tempat usaha badan yang bersangkutan apabila Jurusita Pajak tidak dapat menjumpai salah seorang sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
Apabila Wajib Pajak sudah dinyatakan pailit, maka Surat Paksa harus disampaikan kepada Kurator, Hakim Pengawas atau Balai Harta Peninggalan. Bila Wajib Pajak dinyatakan bubar atau dalam likuidasi, Surat Paksa disampaikan kepada orang atau badan yang dibebani untuk ‘melakukan pemberesan atau likuidator. Selanjutnya apabila Wajib Pajak telah menunjuk, . seorang kuasa, maka Surat Paksa disampaikan kepada si penerima kuasa. Apabila Wajib Pajak atau Penanggung Pajak sudah tidak diketatini• lagi alamatnya Surat Paksa akan ditempel pada. papan pengumuman di kantor pajak yang menerbitkan Surat Paksa .Dan apabila PP tdk mau menerima Surat Paksa maka Jurusita Pajak mencatatnya dalam Berita Acara bahwa Penanggung Pajak tidak mau menerima Surat Paksa. Dalam hal demikian, maka Surat Paksa dianggap telah diterima.. Pada prinsipnya Surat Paksa yang telah disampaikan secara resmi oleh Jurusita Pajak tidak boleh ditolak apabila dilihat dari si materilnya.
Wajib Pajak dapat menolak (verzet) Surat Paksa, bila diketahui ada hal-hal yang bersifat formal, sebagai berikut:
- a. Apabila Surat Paksa diberitahukan atau disampaikan oleh seorang petugas yang bukan Jurusita Pajak yang telah disumpah. Artinya, seorang jurusita yang akan menyampaikan Surat Paksa telah dibekali dengan surat tanda pengenal sebagai Jurusita. Wajib Pajak dapat minta agar Jurusita menunjukkan tanda pengenalnya scbagai Jurusita Pajak.
- Apabila Surat Paksa yang telah diterbitkan dikirim; melalui kantor pos Ini tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf b jo. Pasal 1 ayat (1), yang menegaskan Surat Paksa harus diberitahukan oleh Jurusii Pajak dengan pernyataan dan penyerahan Salinan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak.
- Apabila Surat Paksa tidak ditandatangani oleh pejabat yang berwenang Pejabat yang berwenang menerbitkan Surat Paksa adalah Kepala Kantor ( Pelayanan Pajak atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KPP/KPPBB).
Dalam hal terjadi yang demikian, Wajib Pajak dapat melakukan gugatan kepada badan Pengadilan Pajak.
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa Surat Paksa ditandatangani oleh kepala kantor pajak yang wilayah kerjanya terbatas sesuai kewenangan yang diberikan. Seandainya Wajib Pajak berada di wilayah kantor pajak lain ‘di Itu. wilayah kantor pajak yang menerbitkan Surat Paksa, maka kepala kantor pajak
yang menerbitkan Surat Paksa, dapat meminta bantuan kepada kepala kantor. ,
pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat pelaksanaan Surat Paksa disampaikan salinan Surat Paksa dan informasi lain mengenai Wajib Pajak.
Namur demikian, menyimpang dari ketentuan tersebut apabila dalam suatu kota terdapat beberapa wilayah kerja pejabat, dan telah ada Keputusan Menteri maka Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Jakarta Utara dapat langsung memerintahkan Jurusitanya untuk melaksanakan Surat Paksa di tempat Penanggung Pajak di Pasar Minggu Jakarta Selatan, tanpa harus meminta bantuan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Jakarta Selatan.
3.PENYITAAN
Penyitaan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh Jurusita Pajak untuk menguasai barang Penanggung Pajak guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penyitaan merupakan tindakan penagihan lebih lanjut setelah Surat Paksa yang hanya dapat dilakukan setelah batas waktu 2 x 24 jam sebagaimana dirnaksud dalam Surat Paksa dilewati. Artinya, apabila Penanggung Pajak/Wajib Pajak tetap tidak melunasi utang pajak sebagaimana yang tercantum dalam Surat Paksa, barulah penyitaan dapat dilaksanakan.
Pada prinsipnya tujuan penyitaan adalah untuk memperoleh jaminan pelunasan utang pajak dari Penanggung Pajak. Oleh karenanya, penyitaan dapat dilaksanakan terhadap barang milik Penanggung Pajak yang berada di terripat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan, atau tempat lain termasukyang penguasaannya berada di tangan pihak lain atau yang dijaminkan sebagaipelunasan utang tertentu.
Penyitaan tersebut dapat dilakukan baik terhadap barang bergerak maupun barang tidak bergerak. Termasuk penyitaan terhadap barang bergerak adalah mobil, perhiasan, uang tunai, dan deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, obligasi, saham, atau surat berharga lainnya, piutang, dan penyertaan modal pada perusahaan
Sedangkan yang termasuk barang tidak bergerak adalah tanah, bangunan, dan kapal dengan isi kotor tertentu. Khusus untuk penyitaan atas barang tidak bergerak berupa kapal yang bobotnya 20 M3 (dua puluh meter kubik) atau lebih harus didaftarkan di Direktorat Jenderal Perhubungan Laut dengan cara menyampaikan salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita.
Tata Cara Penyitaan
Sekalipun penyitaan dapat dilakukan terhadap barang tidak bergerak, namun pada dasarnya penyitaan haruslah dilakukan dengan mendahulukan pada barang bergerak. Tetapi apabila Jurusita Pajak tidak menjurnpai barang bergera yang dapat dijadikan objek sita atau barang bergerak yang dijurnpai tida mempunyai nilai atau harga yang tidak memadai, penyitaan dapat dilakuka terhadap barang tidak bergerak.
Lalu pertanyaannya, bagairnana seandainya barang yang akan disita berada di luar wilayah kerja pejabat kantor pajak yang menerbitkan Surat Paksa, siapa yang akan melaksanakan penyitaan? Untuk hal demikian, Pasal 20 Undang- undang Penagihan rnenegaskan bahwa dalam hal objek sita berada di luas wilayah kerja pejabat yang menerbitkan Surat Paksa, pejabat harus meminta bantuan kepada kepala kantor pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat objek sita berada untuk menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan terhadap objek sita dimaksud.Sedangkan untuk objek sita yang letaknya berjauhan dengan tempat kedudukan pejabat tetapi masih dalam wilayah kerjanya, kepala kantor pajak dimaksud dapat meminta bantuan kepada kepala kantor pajak yang wilayah kerjanya juga meliputi tempat objek sita berada untuk menerbitkan Sural Perintah Melaksanakan Penyitaan. Misalnya Kepala Kantor Pelayanan Pajak Perusahaan Negara dan Daerah di Jakarta yang wilayah kerjanya di seluruh Indonesia akan melakukan penyitaan atas objek sita yang berada di Balikpapan dapat meminta bantuan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Balikpapan di Balikpapan. Setelah dilakukan penyitaan; Kepala Kantor Pelayanan Pajak Balikpapan akan inemberitahukan pelaksanaannya dengan mengirimkan Berit Acara Pelaksanaan Sita.
Ada enam jenis barang yang dikecualikan dari penyitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa yaitu:
- Pakaian dan ternpat tidur beserta perlengkapannya.
- Perlengkapan Penanggung Pajak yang bersifat dinas;
- Buku-buku yang berkaitan dengan jabatan atau pekerjaan Penanggung Pajak;
- Alat-alat yang dipergunakan untuk pendidikan, kebudayaan, dan keilmuan;
- Peralatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan untuk melaksanakan pekerjaan atau usaha sehari-hari dengan jumlah, seluruhnya tidak lebih dari Rp 20.000.000 (dua puluh juta rupiah);
- Peralatan penyandang cacat yang digunakan oleh Penanggung. Pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya.
Pada prinsipnya penyitaan dalam hukum pajak tidak mengubah status ‘kepemilikan atas suatu barang, bahkan barang yang telah disita dititipkan kepada Penanggung Pajak atau dapat disimpan di tempat lain. Pemilik barang pada dasarnya masih tetap dapat mempergunakan barang yang telah disita sepanjang atas barang yang telah, disita tersebut tidak dialihkan hukumnya kepada pihak lain atau merusak barang, atau menghilangkan barang, yang merupakan tindakan pidana sesuai Pasal 23.1 KUH Pidana.
Adakalanya penyitaan yang dilakukan terhadap suatu badan usaha tidak dapat dilaksanakan, misalnya karena barang perusahaan yang disita tidak mencukupi atau tidak dapat ditemukan. Dalam hal demikian, maka penyitaan dapat dilakukan terhadap barang milik pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal atau ketua suatu yayasan, baik ditempat kedudukan yang bersangku tan, ditempat tinggal mereka maupun ‘di tempat lain. Oleh karena mereka merupakan Penanggung Pajak yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak atau mempunyai kewajiban untuk melunasi utang pajak perusahaan. Pasal 1 butir 3 undang-undang penagihan `dengan tegas menyebutkan pengertian dari Penanggung Pajak, yaitu orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hale dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan perundang-undangan perpajakan.
Dalam melaksanakan penyitaan, sering kali juga terjadi persinggungan dalam pelaksanaan di lapangan terkait dengan penyitaan yang juga dilakukan oleh instansi lain seperti pihak Pengadilan Negeri atau pihak Panitia Urusan Piutang Negara. Apabila pihak lain telah melakukan penyitaan, maka Jurusita Pajak hanya menyampaikan Surat Paksa kepada instansi yang bersangkutan dan tidak melakukan penyitaan lagi.
Untuk tidak menimbulkan salah pemahaman, perlu dibedakan pengertian tumpang tindih penyitaan dengan penyitaan tambahan.Bila terhadap suat barang sudah dilakukan penyitaan oleh salah sate instansi yang berwenang maka terhadap barang tersebut tidak dibolehkan lagi dilakukan penyitaan. Artinya, apabila suatu barang sudah disita, lalu disita lagi oleh instansi yang berbeda, berarti terjadi tumpang tindih penyitaan. Sedangkan dalam penyitaan tambahan (Pasal 21), Jurusita Pajak tetap dapat melakukan penyitaan. apabila terjadi hal-hal berikut:
- Nilai barang yang disita nilainya tidak cukup untuk melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak; atau • ,
- Hasil dari lelang barang, yang telah; disita tidak cukup untuk melunasi utang pajak dan biaya,penagihan pajak.
Terhadap barang yang sudah disita, Penanggung Pajak dilarang untuk melakukan hal-hal berikut:
a.Memindahkan hak, memindahtangankan, menyewakan, meminjamkan menyembunyikan, menghilangkan, atau merusak barang yang telah disita;
- Membebani barang tidak bergerak yangtelah disita dengan hak tanggungar untukpelunasan. utang tertentu;
- Membebani .barang bergerak ,yang telah disita dengan, fidusia atau, diagunkan, untuk pelunasan utang tertentu; dan/atau •
- Merusak, mencabut atau ,menghilangkan segel sita atau salinan , Berita AcaraPelaksanaan Sita,yang telah ditempelpada barang sitaan.
Wajib Pajak Yang melanggar ketentuan di atas bisa dikenakan sanksi pidana sesuai ketentuan Pasal 231, 372, dan 375 KUH Pidana. Untuk jelasnya, ketiga pasal tersebut dikutip sebagai berikut:
Pasal 231 ayat (1) KUHP menegaskan bahwa,barangsiapa dengan sengaja menarik suatu barang yang disita menurut ketentuan undangTundang atau yang dititipkan (sequestratie) atas perintah hakim; atau dengan mengetahui, bahwa barang ditarik dari situ, menyembunyikan,. dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Pasal 372 KUHP menegaskan bahwa, “Barangsiapa, dengan sengaja dan melawan hukum rnengaku sebagai,milik seridiri, (aich toceieenen) barang sesuatu
dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah.”
Selanjutnya Pasal 375 KUHP menegaskan bahwa “Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang karena terpaksa diberi barang untuk disimpan, atau yang dilakukan oleh wali, pengampu, pengurus atau pelaksana surat wasiat, pengurus lembaga sosial atau yayasan, terhadap sesuatu barang yang dikuasainya selaku, demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.”
Terhadap barang yang sudah disita, dapat dicabut apabila terjadi‘salah satu dari tiga hal seperti di bawah ini:
- Penanggung ‘Pajak telah melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak;
b.. Ada putusan pengadilan atau ada putusan badan peradilan pajak; atau
- Ada ketentuan lain yang diatur, dalam Keputusan Menteri Keuangan atau Keputusan Kepala Daerah. Misalnya adanya objek sita terbakar, objek sita hilang atau objek sita, musnah.
Putusan pengadilan adalah putusan hakirn dari peradilan umum, misalnya putusan atas sanggahan pihak ketiga terhadap kepemilikan barang yang disita, sedangkan putusan badan peradilan pajak, misalnya putusan atas gugatan Penanggung Pajak terhadap pelaksanaan sita.
Perlu diketahui bahwa apabila telah dilakukan penyitaan terhadap barang yang kepemilikannya telah terdaftar, maka tindasan Surat Pencabutan Sita disampaikan kepada instansi tempat barang tersebut terdaftar. Misalnya, penyitaan atas tanah dan bangunan, tindasan Surat Pencabutan Sita disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan Nasional yang wilayahnya meliputi tempat tanah dan bangunan tersebut berada
.
PELELANGAN
Lelang adalah setiap penjualan barang di muka umum yang dipimpin oleh Pejabat Lelang dengan cara penawaran harga secara terbuka/lisan dan/atau tertutup/tertulis yang didahului dengan pengurruman lelang.
Pelelangan merupakan tindakan hukum penagihan berikutnya untuk melunasi utang pajak Wajib Pajak/Penanggung Pajak
Dasar hukum.
Dasar hukum pelaksanaan lelang saat ini diatur dalam Vendu Reglement ( Peraturan Lelang, Stbl. 1908-1198) dan Vendu Instructie ( Instruksi Lelang, Stbl, 1908-198).
Lelang dalam hal sita pajak merupakan salah satu bagian dari berbagai jenis lelang untuk melaksanakan eksekusi atas barang-barang milik Penanggung Pajak dalam rangka penagihan piutang pajak. Sesuai aturan yang telah ditentukan, pelaksanaan penjualan secara lelang terhadap barang yang telah disita dilakukan sekurang-kurangnya 14 (empat belas) hari setelah pengumuman lelang. Pengumuman lelang itu sendiri dilakukan dalam waktu sekurang-kurangnya 14 (empat belas) hari setelah pelaksanaan penyitaan.
Pengumuman lelang tersebut mempunyai tujuan dalam rangka memberikan perlindungan kepada pihak ketiga yang berkepentingan dan juga dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada Penanggung Pajak untuk melunasi utang pajaknya sebelum lelang dilaksanakan dan sekaligus memberi perlindungan hukum kepada pembeli atas objek barang yang dilelang dari kemungkinan adanya gugatan dari pihak-pihak lain di kemudian hari.
Pelaksanaan lelang dalam rangka eksekusi pajak merupakan upaya hukum terakhir dalam rangka mencairkan tunggakan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 25 Undang-undang Penagihan Pajak. Pasal. 25 ayat (1) menyatakan “apabila utang pajak dan/atau biaya penagihan pajak tidak dilunasi setelah dilaksanakan penyitaan, Pejabat berwenang melaksanakan penjualan secara lelang terhadap barang yang disita melalui Kantor Lelang.”
Dipilihnya lelang sebagai sarana penjualan barang tentunya didasari oleh adanya kebaikan-kebaikan yang dapat diperoleh dari proses lelang tersebut, antara lain sifat penjualannya yang transparan/terbuka, cepat, aman,’ efisien dengan mekanisme harga yang kompetitif dan dapat dipertanggungjawabkan. Sarana lelang yang digunakan dalam rangka tindakan penagihan pajak tidak lain merupakan upaya terakhir apabila Wajib Pajak tetap tidak rnelunasi, utang pajaknya. Dengan adanya praktik lelang menunjukkan adanya fungsi publik dari lelang tersebut dalam rangka penegakan hukum yang lebih mencerminkan keadilan dan kepastian hukum.
Sebelum pelaksanaan lelang, Pejabat pernohon lelang bersama-sama dengan Pejabat Lelang:akan memberikan penjelasan lelang (aanwijzing).
Narnun demikian, tidak semua objek yang telah disita oleh Jurusita pajak dapat dilakukan lelang.
Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 136 Tahun 2000 dengan tegas menyebutkan adanya objek sita yang dikecualikan dari lelang, yaitu berupa:
- uang tunai;
b: surat-surat berharga berupa deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, obligasi, saham, atau surat berharga lainnya, piutang dan penyertaan modal pada pemisahaan lain;
- barang yang mudah rusak atau cepat busuk
Oleh karena atas barang-barang tersebut di atas tidak dilakukan pelelangan, maka tindakan penagihan yang dilakukan adalah dengan cara sebagai berikut: bila uang tunai; akan disetor ke Kas Negara. Atas deposito, tabungan, saldo rekening koran, akan dipindahbukukan ke Kas Negara. Atas obligasi, saham, atau surat berharga lainnya akan dijual di bursa efek. Atas piutang, akan dialihkan hak menagihnya, dan atas penyertaan modal akan dibuatkan akta persetujuan pengalihan hak menjual dari Wajib Pajak kepada Pejabat (Kepala Kantor Pelayanan Pajak/Kepala Kantor Pelayanan pajak Bumi dan Bangunan (KPP/KPPBB).
Lelang eksekusi pajak yang penyelenggaraannya dilakukan melalui Kantor Lelang Negara (KLN), mempunyai nilai kekhususan lain, yaitu bahwa tindakan lelang tetap dapat dilaksanakan meskipun tidak ada dokumen-dokumen bukti kepemilikan sepanjang dalam Berita Acara Pelaksanaan Sita disebutkan bahwa dokumen tidak dapat disita dan adanya pernyataan tertulis dari Pejabat selaku pemohon lelang bahwa memang dokumennya tidak dapat disita. Namun demikian, khusus untuk lelang dengan objek berupa tanah dan/atau bangunan, meskipun tidak ada dokumennya, tetap harus ada dokumen lain berupa Surat Keterangan Tanah (SKT) yang dapat diperoleh dari instansi yang berwenang (Surat Edaran Bersama Direktur Jenderal Pajak dan Kepala Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara Nomor SE-214/PJ/1999; SE-17/PN/1999 tanggal 25 Agustus 1999).
Persoalan hukum yang mungkin agak pelik yang mungkin terjadi adalah apabila suatu permasalahan belum mempunyai kekuatai hukum yang tetap, tidaklah boleh dilakukan eksekusi. Begitu pun ketentuai Pasal 40 ayat (1) yang menyebutkan bahwa apabila setelah pelaksanaa, lelang Wajib Pajak memperoleh keputusan .keberatan atau putusan banding yang mengakibatkan utang pajak menjadi berkurang sehingga menimbulkan kelebihan pembayaran pajak, Wajib Pajak tidak dapat meminta atau tidak berhak menuntut pengembalian barang yang telah dilelang. Untuk kepastian hukum bagi pembeli tentu saja hal itu baik, tetapi bagi pemilik barang ada persoalan lain.
Persoalan yang timbul adalah bila proses lelang telah dilaksanakan, ternyata upaya hukum keberatan yang diajukan memenangkan Wajib Pajak, tentu saja atas barang yang sama yang telah dilelang tidak dapat dikembalikan. Yang bisa dikembalikan hanyalah berupa uang dengan nilai yang sama atas barang yang dilelang, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 40 ayat (2). Bagi Wajib Pajak bisa saja nilai berupa uang tidak bisa persis disamakan dengan barang yang, telah dilelang. Mungkin saja Wajib Pajak saja merasa lebih penting memiliki. barang yang dilelang daripada nilai uang walaupun nilainya sama, tetapi dari sisi nilai ,immaterial kepemilikan barang tentu berbeda.
Setelah lelang dilaksanakan, secara hukum hak Penanggung Pajak atas barang yang dilelang berpindah kepada pembeli dan kepada pembeli diberikan dokumen Risalah Lelang yang memuat keterangan tentang barang sitaan telah terjual., Risalah Lelang ini merupakan bukti otentik sebagai dasar pendaftaran dan pengalihan hak, yang akan memberikan perlindungan hukum terhadap hak pembeli lelang
.
HAK MENDAHULU PAJAK
Istilah lain dari Hak Mendahulu dalam hukum sering disebut dengan Hak Istirnewa atau Hak Preferen. Menurut Pasal 1134 Kitab Undang-undang Hukurn Perdata (KUHPerdata) yang dimaksud dengan hak istimewa adalah suatu ‘hak,yang oleh undang-jundang diberikan kepada seseorang berpiutang sehingga tingkatannya lebih tinggi daripada orang berpiutang lainnya,.semata-, mata berdasarkan sifat piutangnya. Gadai dan Hipotek adalah lebih tinggi daripada hak istirnewa, kecuali dalam hal-hal di mana oleh,undang-undang ditentukan sebaliknya.
Menurut hukum perdata, seseorang dapat dikatakan mempunyai utang bila telah terjadi perikatan di antara para pihak: Perikatan tersebut bisa terjadi ,karena undang-undang,atau karena perjanjian. Perikatan yang timbul karena ,undang-undang dapat timbul karena undang-undang saja atau karena undang-undang dengan perbuatan manusia. Sedangkan menurut hukum pajak, utang pajak yang timbul karena undang,undang saja; berarti haruslah terlebih dahulu ada undang-undang yang imenjadi dasar hukum pemungutan pajak. Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 (tentang PPh), Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 (tentangPPN dan PPnBM), Undang-undang,Nomor 12 Tahun 1994 (tentang PBB) dan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 (tentang BPHTBiBea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan), maka sejak saat itu timbul utang pajak,dari tiap subjek hukum pajak yang rnemenuhi syarat sebagai Wajib Pajak.
Nam undang-undang pajak, hak mendahulu pajak diatur dalam ,Pasal 21 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nornor9 Tahun 1994 (Undang-undang KUP) yang berbunyi sebagai berikut:
Ayat(1): Negara mempunyai hak mendahulu untuk tagihan pajak atas barang-barang milik Penanggung Pajak.
Ayat (2): Ketentuan tentang hak mendahulu sebagaimana dimaksud pada ayat ,(1), meliputi pokok pajak, bunga, denda administrasi, kenaikan, dan biaya penagihan.
Ayat (3):
Hak mendahulu untuk tagihan pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap:
- Biaya perkara yang semata-mata disebabkan suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak maupun tidak bergerak;
- Biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan suatu barang;
- Biaya perkara, yang semata-mata disebabkan pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.
Ayat (4) : Hak mendahulu itu hilang setelah lampau 2 (dua) tahun sejak tanggal diterbitkan Surat Tagihan Pajak, SKPKB,SKPKBT dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, kecuali:apabila dalam jangka waktu dua tahun tersebui, Surat Paksa untuk membayar itu diberitahukan secara resmi, atau diberikan penundaan pembayaran.
Ayat (5): Dalam hal Surat Paksa untuk membayar diberitahukan secara resmi, , jangka waktu dua tahun sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), dihitung sejak tanggal pemberitahuan Surat Paksa, atau dalam hal. diberikan penundaan pembayaran jangka waktu dua tahun tersebut ditambah dengan jangka waktu penundaan pembayaran.
Dari penjelasan pasal di atas menyebutkan bahwa negara mempunyai kedudukan preferen atas barang-barang milik Penanggung Pajak yang akan dilelang di muka umum. Maksudnya adalah memberi kesempatan kepada negara (dalam hal ini Direktur Jenderal Pajak) untuk mendapatkan pembagian lebih dahulu dari kreditor lain atas hasil pelelangan barang milik Penanggung Pajak. Setelah utang pajak dilunasi barulah diselesaikan pernbayaran kepada kreditor lainnya.
Rupanya hak preferen ini juga mempunyai pengecualian, artinya pembayaran (pelunasan) terhadap utang pajak masih kalah kuat atau dapat dihindari jika ada hak preferen lain yang juga harus didahulukan pelunasannya, yaitu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a, b, dan c di atas. Adanya pengecualian ini menimbulkan masalah mengapa hak mendahulu dari pajak harus memberikan kesempatan kepada hak preferen kreditor-kreditor lain dan bukan pelunasan atas utang ,pajak yang terlebih dahulu harus diutamakan, padahal undang-undang pajak merupakan ketentuan yang bersifat khusus dibandingkan dengan .undang-undang hukum perdata yang bersifat umum, sehingga asas hukum lex specialis derogat lex generalis dapat diberlakukan.
Jika permasalahan ini yang timbul, dapat dikemukakan bahwa terhadap asas hukum di atas bukan berarti tidak berlaku, tetapi justru asas tersebut berlaku karena secara jelas telah dituangkan dalam undang-undang pajak, yaitu hendak menekankan bahwa terhadap permasalahan yang sama pengaturannya ada pada yang umum dan khusus, maka khususlah yang berlaku. Alasan lain yang dapat dikemukakan bahwa biaya perkara dan biaya eksekusi merupakan tindakan untuk menyelamatkan harta kekayaan tidak bisa dilakukan oleh pihak pengadilan dan kejaksaan, maka bagaimana mungkin Wajib Pajak dapat melunasi utang pajaknya sedangkan harta kekayaan Wajib Pajak.’itu sendiri tidak berada di tangan kekuasaan Wajib Pajak.
PENAGIHAN SEKETIKA DAN SEKALI GUS.
Dalam melaksanakan tindakan penagihan pajak tidak selalu didahului dengan pelaksanaan Surat Paksa tetapi dapat juga langsung dengan melakukan tindakan berupa penerbitan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus tanpa perlu menunggujatuh tempo pembayaran. Ada dua kata yang penting dipahami yaitu kata “seketika” dan kata “sekaligus”.Penagihan seketika dilakukan segera tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran. Sedangkan penagihan sekaligus adalah penagihan yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis .pajak dan tahun pajak.
Cara penerbitan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, secara tegas disebutkan dalam Pasal 8 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 561/ KMK.04/2000 yaitu diterbitkan dalam hal:
- Sebelum tanggal jatuh ternpo,pembayaran;
- Tanpa didahului dengan adanya Surat Teguran;
- Sebelum jangka waktu 21 (dua rpuluh situ). hari sejak Surat Teguran diterbitkan;,atau
d Sebelum penerbitan Surat Paksa.
Dilanggarnya ketentuan formal yang umum seperti adanya Surat Teguran dan ketentuan jangka waktu penagihan yang bersifat umum, dapat dimengerti karena adanya kondisi yang mengharuskan kantor pajak melakukan tindakan penagihan yang bersifat cepat. Jika tidak demikian, tentunya kantor pajak akan kehilangan kesempatan untuk mencairkan tunggakan pajak dari Wajib Pajak yang beritikad tidak baik
Adanya tindakan penagihan seketika dan sekaligus ini tidak • lain dimaksudkan agar Wajib Pajak tetap harus mendahului kepentingan negara untuk melunasi utang pajak sebelum kepentingan-kepentingan lain diselesaikan. Hal ini tentu berkaitan dengan hak mendahulu sebagaimana diuraikan dalam Bab 5.
Pasal 20 Undang-undang KUP menegaskan bahwa tindakan penagihan seketika dan sekaligus dapat dilakukan bila salah satu dari hal-hal berikut diketahui, yaitu:
a.Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau beniat untuk itu;
b.Penanggung Pajak menghentikan atau secara nyata mengecilkan kegiatan
- c. Pembubaran badan atau niat untuk membubarkannya, pernyataan pailit, begitu pula dalam hal terjadi penyitaan atas barang bergerak atau barang tidak bergerak milik Penanggung Pajak.
Sebagaimana telah disebutkan di atas apabila Penanggung Pajak akan rneninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau mempunyai niat untuk itu, maka Penanggung Pajak harus melunasi utang pajaknya terlebih dahulu. Untuk itu, sesuai Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, upaya hukum yang dapat dilakukan untuk itu adalah dengan cara mencegah Penanggung Pajak yang bersangkutan berangkat ke luar negeri. Usulan pencegahan demikian hanya dapat dilakukan oleh Menteri Keuangan kepada Menteri Kehakiman sepanjang menyangkut urusan piutang negara.
Piutang negara menurut penjelasan Pasal 11 Undang-undang Keimigrasian di atas adalah tagihan terhadap seseorang atau badan hukum yang timbul dari perjanjian keperdataan dengan instansi pemerintah. Menurut penulis utang pajak bukanlah termasuk piutang negara yang timbul dari perjanjian keperdataan. Utang pajak timbul karena adanya undang-undang pajak, sifatnya bukan karma perjanjian keperdataan. Oleh karena itu, penjelasan Pasal 11 Undang-undang Keimigrasian di atas sebaiknya ditambah dengan kata-kata “atau yang. timbul berdasarkan undang-undang.”
PENCEGAHAN, PENYANDERAAN DAN GUGATAN.
Pencegahan.
Pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap Penanggung, Pajak tertentu untuk keluar dari wilayah negara Republik Indonesia berdasarkan alasan tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Khusus untuk masalah perpajakan, maka pencegahan hanya dapat dilakukan terhadap. Penanggung Pajak yang memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu:
- Syarat kuantitatif, yaitu apabila Penanggung Pajak mempunyai utang pajak sekurang-kurangnya Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah); dan
- Syarat kualitatif, yaitu syarat mengenai diragukannya itikad baik Penanggung Pajak yang bersangkutan dalam melunasi titang pajaknya
masalah hak asasi seseorang untuk bepergian ke luar negeri. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya harus berdasarkan pada Keputusan Men teri Keuangan, sesuai aturan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian.
Sekalipun Penanggung ‘Pajak telah dilakukan pencegahan, tidaklah berarti utang pajaknya menjadi hapus. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 31 Undang¬undang Penagihan,, bahwa pencegahan terhadap Penanggung Pajak tidal( mengakibatkan hapusnya utang pajak dan terhentinya pelaksanaan penagihan pajak.
Masalah pencegahan ternyata juga berkaitan dengan masalah penagihan seketika dan sekaligus. Untuk itu lihat kembali uraian mengenai penagihan seketika dan sekaligus, khususnya mengenai upaya hukum yang dilakukan berkaitan dengan Wajib Pajak yang akan meninggalkan Indonesia untuk selamanya.
Permasalahan kepastian hukum atas lamanya pencegahan timbul dalam Pasal 30 ayat (3) Undang-undang Penagihan. Ketentuan tersebut menyebutkan bahwa jangka waktu pencegahan ditentukan paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang untuk selama-lamanya 6 (enam) bulan. Dengan kata lain, pencegahan hanya dibatasi paling lama 1 (satu) tahun. Undang-undang tampaknya tidak menegaskan bagaimana aspek hukum seandainya pencegahan terhadap Penanggung Pajak telah lewat 1 (saw) tahun.
Apabila pencegahan telah lewat satu tahun, seharusnya secara hukum; pencegahan dengan senclirinya tidak ada lagi. Dengan kata lain, Penanggung Pajak dapat pergi ke luar negeri sekalipun masih ada utang pajak. Penulis berpendapat sebaiknya lamanya waktu pencegahan tidak perlu diatur. Sepanjang Wajib Pajak belum melunasi utang pajaknya, tetap tidak diperbolehkan pergi keluar negeri.
Persoalan hukum lainnya adalah berkaitan dengan Pasal 30 ayat (5) yang menyebutkan bahwa pencegahan dapat dilaksanakan terhadap beberapa orang sebagai Penanggung Pajak Wajib Pajak badan atau ahli waris. Ketentuan ini rnenurut penulis adalah baik, namun seakan menjadi tidak mempunyai kepastian hukum, karena tidak melihat pada suatu kondisi tanggung jawab dalam suatu perusahaan. Undang-undang Perseroan Terbatas Nomor 1 Tahun 1995 (UUPT) menegaskan bahwa yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan suatu perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan adalah Direksi (Pasal 82 UUPT). Sedangkan Komisaris adalah perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus serta memberikan nasihat kepada Direksi dalam menjalankan:perseroan (Pasal 97 UUPT).
Suatu kasus terjadi di mana seorang Penanggung Pajak (Komisaris Perusahaan) mengalami sakit dan harus berobat ke luar negeri. Oleh karena yang bersangkutan dilakukan pencegahan maka tidak bisa berangkat ke luar negeri. Kenyataannya, Pencegahan telah dilakukan juga terhadap Direksi perusahaan. Persoalan hukum timbul di mana perusahaan telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dan kantor pajak sudah melakukan klarifikasi untuk mendapatkan pelunasan melalui hak mendahulu atas utang pajak perusahaan. Terhadap kasus yang demikian, menimbulkan pertanyaan apa efek hukumnya pencegahan dilakukan terhadap Komisaris kalau dalam kenyataannya toh tetap saja pelunasan utang pajaknya bisa dilakukan terhadap harta pailit. Bahkan melihat pada ketentuan UUPT, secara umum yang bertanggung jawab adalah Direksi perusahaan, bukan unsur komisaris.
Hal lain yang menyebabkan tidak efektifnya penggunaan lembaga pencegahan adalah seandainya para Penanggung Pajak tidak pernah berangkat keluar negeri. Sekalipun semua Komisaris maupun Direksi .dilakukan pencegahan, tidak ada pengaruh hukuin yang terjadi atas pelunasan utang pajak karena mereka tidak pernah pergi keluar negeri. poicok inilah yang perlu mendapat perhatian untuk perubahan undang-undang dikemudian hari.
PENYANDERAAN.
Penyanderaan adalah pengekangan untuk sementara waktu kebebasan Penanggung Pajak dengan menempatkannya di tempat tettentu. Sama ‘halnya dengan pencegahan, penyanderaan .ju’ga hanya dapat dilakukan terhadap. Penanggung Pajak bila memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu:
- Syarat kuantitatif, yaitu apabila Penanggung Pajak mempunyai utang pajak’ sekurang-kurangnya Rp 100:000.000 (seratus juta’rupiah);. dan
- Syarat kualitatif, yaitu syarat mengenai diragukannya itikad baik Penanggung Pajak yang bersangkutan dalam melunasi utang pajaknya. Misalnya, Penanggung Pajak menyembunyikan harta ‘kekayaannya sehingga tidak• cukup harta yang dapat dijadikan jaminan pelunasan utang Pajak dan biaya penagihan pajak.
sangat selektif dan hati=hati dan merupakan upaya hukum terakhir dalam rangka penagihanpajak..Mehhat pentingnya lembaga ini tetap dipertahankan, tampak dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 137 Tahun 2000 tentang Tempat dan Tata. Cara Penyanderaari, Rehabilitasi Nama Bank Penanggung Pajak dan Pemberian GantiRugi dalam Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Secara psikologis, dengan tetap ‘dipertahankannya lembaga penyanderaan ini tidak lain dimaksudkan untuk inembuat Penanggung Pajak menjadi; malu jika karena tidak membayar pajak,kemudian harus disandera.
Pada awalnya, masalah penyanderaan diatur dalam Pasal 209 sampai dengan Pasal 214 Reglemen Indonesia yang Diperbarui (RIB/HIR) serta Pasal 242 sampai dengan Pasal 258 Reglemen Hukum Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (RBg) sebagai satu lembaga yang timbul dalam hubungan hokum perdata atau hubungan antara kreditor dengan debitor di mana debitor yang tidak dapat melunasi utangnya untuk membayar sejumlali uang kepada kreditor, dapat disandera melalui suatu proses gugatan Ice Pengadilan Negeri yang dilakukan oleh kreditor.
Pasal 209 HIR pada intinya menyebutkan bahwa `jika tidak ada atau tidal cukup barang untuk menjalankan putusan seorang berkewajiban dapat ‘disandera.’ Di sini jelas bahwa sandera (paksa badan) termasuk lingkup hukum eksekusi yang hanya dapat dijalankan setelah ada putusan pengadilan dalam pokok perkara perdata. Ketentuan tersebut’ ternyata tidak pernati’dapat dilaksanakan ka rena adanya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 1964 dan SEMA Nomor 4 Tahun 1975 yang memerintahkan kepada para Ketua Pengadilan dan Hakim untuk tidak mempergunakan lagi peraturan sandera yang diatur dalam HIR atau RBg dengan alasaadianggap bertentangan dengan perikemanusiaan. Atas dasar SEMA tersebut lalu DirektOrat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) mengeluarkan Surat Edaran Nomor 06/PJ.4/1979 Tanggal 6 November 1979 yang membekukaapelaksanaan sandera guna menghormati SEMA tersebut.
Secara yuridis sebenarnya produk laukum SEMA tersebut gugur demi hukum karena isi SEMA tidak bisa mengganti isi undang-undang yang mempunyai urutan atau kedudukan lebih tinggi. Hal ini bisa dimengerti bila jalan pikiran kita dikaitkan dengan masalah kemanusiaan yang adil dan beradab, apalagi bila dilakukan terhadap Wajib Pajak yang memang sudah tidak
Pertimbangan MA saat mengeluarkan surat edarannya tentu berbeda dengan kondisi saat ini. Hal ini diketahui dengan diterbitkannya kembali Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1, Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan yang mencabut SEMA Nomor 2 Tahun 1964 dan SEMA Nomor 4 Tahun 1975, yang menegaskan bahwa pembekuan lembaga sandera dipandang tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kebutuhan hukum saat ini yaitu dalam rangka penegakan hukum dan keadilan serta pembangunan bangsa.
Pada intinya PERMA di atas mengatur bahwa lembaga paksa badan dapat dilakukan. dengan dua kriteria, yaitu:
- Utang debitor sekurang-kurangnya sebesar Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah); dan
- Debitor punya itikad tidak baik untuk melunasi utangnya. Itikad tidak baik di sini adalah debitor yang mampu tetapi, tidak mau memenuhi kewajibannya untuk membayar utangnya.
Ada dua hal yang menarik dari Peraturan MA tersebut, yaitu:
- Adanya, penegasan perbuatan hukum debitor, penanggung atau penjamin utang yang tidak memenuhi .kewajibannya untuk membayar kembali utang-utangnya, padahal dia mampu,Untuk melaksanakannya, merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang nilainya lebih besar daripada pelanggaran hak asasi atas pelaksanaan paksa badan terhadap yang bersangkutan. Penekanan di sini adalah bagi mereka yang mampu tetapi tidak mau melunasi kewajibannya.
- Adanya istilah ‘Imprisonment for Civil Debts’ yang memberi kesan terjadinya intervensi hukum pidana bagi bagian hukum, publik terhadap masalah-masalah perdata (utang piutang).
Adanya kesan intervensi pada bagian b di atas; dikatakan oleh Prof. Dr. Muladi, bahwa hal ini bisa dibenarkan dalam batas-batas tertentu mengingat sikap komplementer semacam ini tidak asing lagi dalam kehidupan hukum,di Indonesia. Sikap komplementer juga terjadi antara hukum pidana dan hukum administrasi dalam bentuk `administrative penal law’ yang semakin marak dalam kehidupan modern. Dalam hal ini tampak semakin intensifnya kriminalisasi terhadap perbuatan yang sebenarnya masuk wilayah hukum administrasi. Oleh.karenanya dibutuhkan sanksi pidana untuk memperkuat SANKSI ADMINISTRASI, MISALNYA UNTUK MASALAH PERPAJAKAN, lingkungan hidup dsb.
Lembaga sandera (paksa badan).ini sangat menarik dalarn rangka penegakan hukum dan keadilan serta pembangunan ekonomi bangsa Indonesia, yang terlihat dengan semakin ramainya perbincangan masalah sandera dalam RUU tentang Restrukturisasi Utang dan Penyehatan Perseroan. Dalam RUU tersebut diatur bahwa de,bitor dapat disandera apabila debitor.tidak melunasi utangnya kepada kreditor dengan terlebih dahulu kreditor mengajukan permohonan penyanderaan kepada Pengadilan Niaga. Ini berarti bahwa lembaga sandera telah menjadi suatu kebutuhan dalam rangka penegakan hukum dan keadilan seperti ditegaskan dalarn Peraturari MA tersebut di atas.
Penyanderaan tidak boleh dilaksanakan dalam kondisi sebagai berikut:
- Apabila Penanggung Pajak sedang beribadah;
- Apabila Penanggung Pajak sedang mengikuti sidang resmi;
- Apabila Penariggung”Pajak ‘Sedang’ mengikuti Pemilihan Umum(Pemilu).
Selanjutnya penyanderaan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan yang diterbitkan oleh Pejabat (Kepala KPP atau Kepala KPPBB) setelah memperoleh izin tertulis dari Menteri Keuangan untuk penagihan pajak pusat atau dari Gubernur KDH Tingkat I untuk penagihan pajak daerah.
Jangka waktu penyanderaan hanya dapat dilakukan paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak Penanggung Pajak ditempatkan dalam tempat penyanderaan dan dapat diperpanjang untuk selama-lamanya 6 (enam) bulan. Ketentuan mengenai jangka waktu maksirmim penyanderaan ini didasarkan pada’ perhitungan besarnya utang pajak, besarnya jumlah harta yang disembunyikan dan dihubungkan dengan itikad baik Penanggung Pajak untuk melunasi utang pajaknya.
Dengan dilakukannya penyanderaan, maka segala biaya yang terjadi seperti biaya hidup selama dalam penyanderaan di rumah tahanan negara dan biaya penangkapan dalam hal Penanggung Pajak melarikan diri dari rumah tahanan negara menjadi beban Penanggung Pajak yang disandera yang akan diperhitungkan sebagai biaya penagihan pajak.
Sekalipun Penanggung Pajak disandera, selama dalam penyanderaan Penanggung Pajak tetap memperoleh hak-haknya seperti:
- Melakukan ibadah di tempat penyanderaan sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing;
- Memperoleh pelayanan kesehatan yang layak sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
- Mendapat makanan yang layak termasuk menerima kiriman dari keluarga;
- Menyampaikan keluhan tentang perlakuan petugas;
- Memperoleh bahan bacaan dan informasi lainnya atas biaya Penanggung Pajak yang disandera;
- Menerima kunjungan dari keluarga dan sahabat; dokter pribadi atas biaya sendiri; dan rohaniawan.
Penangung Pajak yang disandera tentunya dapat dilepas apabila memenuhi salah satu hal, seperti di bawah ini (Pasal 34), yaitu:
- Apabila utang pajak dan biaya penagihan pajak telah dibayar lunas;
- Apabila jangka waktu yang ditetapkan dalam Surat Perintah Penyanderaan itu telah terpenuhi;
- Ada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
Berdasarkan pertimbangan tertentu dari Menteri atau Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.
Apakah karena Penanggung Pajak telah disandera, atas utang pajak yang. timbul .menjadi hapus? Tentu saja tidak. Utang pajak dan pelaksanaan penagihan pajak tetap dapat, dilaksanakan dan tidak menjadi hapus, karena pada prinsipnya tujuan penyanderaan adalah agar Penanggung Pajak tidak menyembunyikan harta kekayaannya dan berusaha, membuat malu, sehingga mau melunasi utang pajaknya.
Mengenai rehabilitasi nama baik, akan dilaksanakan oleh Pejabat dalam bentuk 1 (satu) kali pengumuman pada media cetak harian yang berskala nasional dengan ukuran yang mernadai, yang dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya permohonan Penanggung Pajak. Sedangkan mengenai ganti rugi, akan diberikan oleh Pejabat kepada Penanggung Pajak
GUGATAN PELAKSANAAN PENAGIHAN PAJAK
Dalam undang-undang tentang penagihan pajak, gugatan diberikan pengertian sebagai suatu’ upaya hukum terhadap pelaksanaan penagihan pajak dan kepemilikan barang sebagaiinana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Gugatan terhadap pelaksanaan penagihan pajak ini hanya meliputi gugatan atas pelaksanaan Surat Paksa, sita, lelang maupun penyanderaan. Penanggung Pajak dapat mengajukan gugatan atas pelaksanaan penagihan pajaknya kepada Pengadilan Pajak: Sedangkan gugatan atas kepemilikan barang yang disita diajukannya kepada Pengadilan Negeri. Pengertian gugatan atas kepemilikan barang termasuk juga dalam pengertian sanggahan sebagaimana diatur dalam Undang-undang KUP.
Gugatan atas pelaksanaan penagihan pajak ke Pengadilan Pajak hares diajukan dalam waktu 14 (empat betas) hari sejak Surat Paksa, sita, maupun lelang telah dilaksanakan. Hitungan 14 (ernpat belas) hari dihitung sejak dilakukannya pernberitahuan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak. Untuk sita dihitung sejak pembuatan Berita Acara Pelaksanaan Sita, dan untuk lelang dihitung sejak Pengumuman Lelang. Apabila dalam jangka waktu dimaksud Penanggung Pajak tidak mengajukan gugatan, maka hak untuk menggugat tidak bisa diterima alias gugur.
Sebelum Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 diubah, ketentuan Pasal 37 ayat (3) menegaskan bahwa sekalipun Penanggung Pajak mengajukan upaya hukum gugatan ke Pengadilan Pajak, upaya yang dilakukan tidak menunda .pelaksanaan penagihan pajak. Akan tetapi sejak di berlakukannya Undang¬undang Nomor 19 Tahun 2000 sebagai perubahan atas Undang-undang Nomor ,19 Tahun 1997, ketentuan Pasal 37 ayat (3) tersebut sudah dihapus.
Dengan dihapusnya ketentuan ini, bisa menimbulkan dua pendapat. Pertama, tindakan penagihan tetap dapat dilaksanakan dengan alasan tidak ada ketentuan yang mengatur untuk menghentikannya. Kedzia, penagihan untuk sementara dihentikan menunggu adanya putusan Pengadilan Pajak. Bahkan clengan dihapuskan ketentuan tersebut, menimbulkan pertanyaan, mengapa khusus untuk persoalan gugatan tidak ada ketentuan tersebut, sementara untuk ,keberatan (dalam UU KUP) dan banding (dalam UU Pengadilan Pajak) yang diajukan Wajib Pajak, ketentuan untuk tetap dilakukan tindakan penagihan ,tetap masih ada.
Penanggung Pajak dapat mengajukan permohonan rehabilitasi nama baik dan ganti rugi kepada pejabat yang menerbitkan Surat Perintah Penyanderaan. Namun, apabila setelah masa penyanderaan berakhir, Penanggung Pajak tidak dapat lagi mengajukan gugatannya kepada Pengadilan Negeri.
Cara merehabilitasi nama baik Penanggung Pajak diatur dalam Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 137 Tahun 2000, yang dilakukan dalam bentuk 1 (satu) kali pengumuman pada media cetak harian. yang berskala nasional dengan ukuran yang memadai, yang dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya permohonan rehabilirasi. Sedangkan untuk ganti ruginya hanya diberikan sebesar Rp• 100.000 setiap hari selama masa penyanderaan yang telah dijalaminya.
ANGSURAN DAN PENUNDAAN PEMBAYARAN PAJAK.
Wajib Pajak yang dalam melakukan aktivitas bisnisnya (usahanya) kadang kala mengalami kesulitan likuiditas perusahaan yang dapat mengganggu lancarnya usaha yang dilakukan sehari-hari. Sehingga dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya juga menjadi tidak lancar. Menghadapi kondisi yang demikian kepada Wajib Pajak yang mengalami kesulitan likuiditas atau mengalami keadaan di luar kekuasaannya tersebut diberikan kelonggaran untuk mengajukan permohonan mengangsur” atau menunda pembayaran pajaknya sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (4) Undang-undang KUP.
Angsuran dan penundaan pembayaran pajak yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak adalah angsuran atau penundaan darI ketetapan pajak yang menyebabkan jumlah pajak yang terntang bertambah, yaitu ketetapan yang tercantum ‘dalarn Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Keputusan Pembetulan,, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding.
Apabila Wajib Pajak menerima salah satu atau lebih.dari surat ketetapan pajak seperti dimaksud di atas, yang harus DILUNASI sesuai dengan jauth temponya, namun Wajib Pajak merasakan kesulitan untuk melunasi karena alasan kesulitan likuiditas atau keadaan di luar kekuasaannya, ‘maka Wajib Pajak dapat mernbuat surat .permohonan untuk mengangsur atau menunda pembayaran utang pajaknya kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP)
Dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-53/PJ/1996 tanggal 23 Juni 1995, tam: cara pelaksanaan pemberian angsuran dan penundaan pembayaran pajak diatur sebagai berikut:
Syarat-syarat perrnohonan:
1.Permohonan harus diajukan sebelum jatuh tempo pembayaran ‘dengan disertai alasan dan jurnlah peinbayarari yang akan diangsur/ditunda. Permohonan dapat diajukan setelah jatuh tempo berakhir apabila Wajib Pajak berada dalam keadaan, di luar kekuasaannya, misalnya sakit keras, surat ketetapan diterima setelah tanggal jatuh tempo, dan sebagainya.
2.Menggunakan formulir yang telah ditentukari yaitu formulir Surat Permohonan Angsuran/Penundaan, Pembayaran (KR Rikpa.4.1) dengan bukti tanda terima.
3.Wajib Pajak harus bersedia memberikan jaminan, misalnya berupa, bank )garansi, perhiasan, kendaraan bermotor (Buku Pernilikan Kendaraan Bermotor), sertifikat tanah, gadai dari barang bergerak lainnya, penyerahan hak milik secara kepercayaan (fiduciare eigendoms overdracht—FEO), hipotek, atau penanggungan utang oleh pihak ketiga(borgstelling).:Namun apabila Kepala KPP menganggap tidak perlu ada jaminan, permohonan tetap ,dapat diproses.
Permasalahan pemberian angsuran atau penundaan pembayaran pajak sering kali pula dikaitkan’ dengan .adanya keharusan jaminan yang akan diberikan oleh Wajib Pajak. Bentuk jaminan yang bisa diberikan dapat berupa bank:garansi, perhiasan, kendaraan bermotor, gadai; hipotek, penanggungan utang .oleh pihak ketiga, sertifikat tanah atau sertifikat deposit°. Dalam pelaksanaannya, jaminan untuk pemberian angsuran atau penundaan ,pajak sebenarnya tergantung pada pertimbangan kepala kantor pajak. Artinya, kepala kantor pajak bisa saja menganggap tidak perlu ada jaminan apabila Wajib Pajak jelas diketahui keberadaannya dan bersifat kooperatif apabila kantor pajak memanggil dan memerlukan informasi lebih lanjut untuk masalah pelunasan utang pajaknya.
Setelah kepala KPP mempertimbangkan alasan-alasan yang diajukan dalam permohonan, maka ada tiga kemungkinan keputusan yang akan dikeluarkan, yaitu:
- Menerima seluruhnya;
- Menerima sebagian;
- Menolak permohonan Wajib Pajak.
Karena masa angsuran atau penundaan hanya diberikan paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keputusan diterbitkan, maka terhadap permohonan Wajib Pajak yang diterima seluruhnya atau sebagian, akan diterbitkan Surat Keputusan Angsuran Pembayaran Pajak dengan masa angsuran paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterbitkannya keputusan tersebut dengan jumlah angsuran yang sama besarnya, paling banyak 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan. Demikian pula terhadap penundaan akan dikeluarkan Surat Keputusan dengan masa penundaan paling lama 12 (dua belas) bulan. Atas keputusan angsuran maupun penundaan tersebut akan dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan.
Perlu diketahui oleh Wajib Pajak bahwa Surat Keputusan Angsuran Pembayaran Pajak atau Surat Keputusan Penundaan Pembayaran Pajak akan dinyatakan tidak berlaku lagi apabila Wajib Pajak mengajukan permohonan pembetulan, keberatan, gugatan atau banding, atau pengurangan/penghapusan sanksi atau pengurangan/pembatalan surat ketetapan pajak, yang berkaitan dengan utang pajak yang diizinkan untuk diangsur atau ditunda. Dengan kata lain, Wajib Pajak tidak dibolehkan mengajukan dua upaya hukum atas saw keketapan pajak.
Apabila atas suatu ketetapan pajak telah diajukan upaya hukuni keberatan, maka atas ketetapan pajak tersebut tidak dibolehkan lagi diajukan upaya pemberian angsuran atau penundaan pembayaran pajak. Ini dapat dipahami, dengan alasan apabila Wajib Pajak mengajukan keberatan atau banding berarti Wajib Pajak tidak setuju atas ketetapan pajak yang terbit sedangkan bila Wajib Pajak mengajukan upaya angsuran atau penundaan pembayaran pajak, berarti Wajib Pajak setuju atas ketetapan pajak, hanya saja Wajib Pajak tidak mempunyai uang untuk sekaligus melunasi utang pajaknya
.
PENGHAPUSAN PIUTANG PAJAK
Piutang pajak pada prinsipnya dapat dihapuskan dari administrasi kantor
pajak karena tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi dengan beberapa alasan. Ketentuan yang mengaturnya didaSarkan pada Keputusan Menteri Keuarigan Nomor 565/KMK.04/2000 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 539/KMK.03/2002 tentang Tata Cara
Ada beberapa: alasan mengapa piutang, pajak bisa dihapus dari data
administrasi kan tor pajak. Alasan-alasan tentunya didasarkan pada kondisi :tdrtentu baik atas piutang pajak Wajib ,Pajak Orang Pribadi maupun Wajib ,’Pajak Badan. Piutang pajak untuk Wajib Pajak,Orang Pribadi yang tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi, disebabkan beberapa hal, yaitu:
Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak tidak dapat ditemukan atau meninggal dunia dengan tidak meninggalkan harta warisan dan ,tidak mempunyai ahli waris, atau ahli waris tidak dapat ditemukan;
Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak tidak mempunyai harta kekayaan lagi;
Ch Penagihan pajak secara aktif telah dilaksanakan dengan penyampaian Salinan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak melalui Pemerintah, Daerah setempat;
Hak untuk melakukan penagihan pajak sudah daluwarsa; atau Sebab lain sesuai hasil penelitian.
Sedangkan untuk piutang pajak Wajib Pajak Badan yang tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi, disebabkan beberapa hal, yaitu:
- a. Wajib Pajak bubar, likuidasi, atau pailit dan pengurus, direksi, komisaris, pemegang saham, pemilik modal, atau pihak lain yang dibebani untuk melakukan pemberesan atau likuidator, atau kurator tidak dapat
ditemukan;
b.Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak tidak memiliki harta kekayaan lagi;
Penagihan pajak secara aktif telah dilaksanakan dengan penyampaian
Salinan Surat Paksa kepada pengurus, direksi, likuidator, kurator, pengadilan
negeri, pengadilan niaga, atau Pemerintah Daerah setempat, baik secara
‘langsung maupun dengan menempelkan pada papan peligumurnan atau media massa;
c.Hak untuk melakukan penagihan pajak sudah daluwarsa;
d.Sebab lain sesuai hasil penelitian.
Untuk memastikan keadaan Wajib Pajak bahwa piutangnya tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi, tentunya harus dilakukan melalui suatu penelitian yang disebut penelitian setempat atau penelitian administrasi
.
Proses penelitian setempat akan dilakukan terhadap piutang pajak yang dihapuskan dengan alasan-alasan:
- Wajib Pajak meninggal dunia dengan tidak meninggalkan harta warisan dan tidak mempunyai ahli waris, atau ahli waris tidak dapat ditemukan. Hal ini dapat dibuktikan dengan surat keterangan kematian dan surat keterangan dari pejabat yang berwenang yang menyatakan bahwa Wajib Pajak yang meninggal dunia tersebut tidak meninggalkan harta warisan dan tidak mempunyai ahli waris.
Apabila Wajib Pajak yang meninggal dunia meninggalkan harta warisan dan mempunyai ahli waris, maka tindakan penagihannya dapat ditujukan kepada ahli warisnya atau kepada pelaksana surat wasiat. Namun apabila yang meninggal dunia meninggalkan harta warisan tetapi tidak mempunyai ahli waris, maka harta warisan akan dikelola oleh Balai Harta Peninggalan (BHP), dengan dernikian penagihannya dapat ditujukan kepada Balai Harta Peninggalan. Kernimgkinan lain apabila Wajib Pajak yang meninggal Julia tidak meninggalkan harta warisan tetapi triempunyai.ahli waris, tindakan penagihannya tetap dapat dilakukan kepada ahli warisnya.
- Wajib Pajak tidak memiliki harta kekayaan lagi yang dapat dibuktikan dengan surat keterangan daripejabat berwenang yang ,rnenyatakan bahwa Wajib Pajak mernang benar-benar sudah tidak mempunyai harta lagi.
- Sebab lain, misalnya Wajib Pajak tidak dapat ditemukan, dokumen yang tidak lengkap, atau tidak dapat ditemukan lagi disebabkan keadaan yang tidak dapat dihindarkan, seperti bencana alam, kebakaran, rusak karena. dimakan rayap, dan sebagainya.
Sedangkan terhadap proses penelitian administrasi akan dilakukan,terhadap piutang pajak yang dihapuskan dengan alasan-alasan:
a.Wajib Pajak yang hak penagihannya yang hak penenagihannva telah daluwarsa, sebagairnana dimaksud Pasal 22 Undang-undang KUP
b,Sebab lain, misalnya Wajib Pajak tidak dapat ditemukan, &lumen yang tidak lengkap, atau tidak dapat ditemukan lagi disebabkan keadaan yang tidak dapat dihindarkan seperti bencana alam, kebakaran, rusak karena ‘dimakan rayap, dan sebagainya
.
Khusus terhadap penelitian setempat maupun penelitian administrasi yang dilakukan terhadap piutang pajak yang dihapuskan dengan alasan sebab lain, pelaksanaannya haruslah berdasarkan persetujuan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atasannya.
: Selanjutnya Laporan Hasil Penelitian Setempat maupun Penelitian
Administrasi yang dilakukan oleh jurusita haruslah menggambarkan keadaan (*jib Pajak atau piutang pajak Wajib Pajak yang bersangkutan, yang akan taigunakan sebagai dasar untuk menentukan besarnya piutang pajak yang tidak dapat ditagih lagi.
Mengenai Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak itu sendiri, telah diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-625/PJ/2001. Hal okok yang diatur adalah sebagai berikut:
a.Bahwa setiap bulan wajib dilakukan inventarisasi piutang pajak-piutang pajak yang diperkirakan tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi. Atas piutang pajak dimaksud dilakukan penelitian setempat atau penelitian administrasi yang hasilnya dituangkan dalam Laporan Hasil Penelitain Setempat atau Laporan Hasil Penelitian Administrasi. Penelitian setempat dilakukan atas Wajib Pajak yang telah meninggal dunia, yang sudah tidak rnempunyai harta kekayaan lagi atau yang tidak dapat ditelusuri lagi karena adanya bencana alam, kebakaran dan lain sebagainya. Sedangkan penelitian administrasi dilakukan terhadap Wajib Pajak yang penagihannya telah daluwarsa
b Selanjutnya setiap akhir tahun takwim, Kepala Kantor Pelayanan Pajak mengirimkan Daftar Usulan Penghapusan Piutang Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, paling lambat tanggal 10 Januari tahun takwim berikutnya.
c.Setelah Daftar Usulan Penghapusan Piutang Pajak diterirna, Direktur Jenderal Pajak membuat dan menyampaikan Konsep Keputusan Menteri Keuangan dan Lampirannya kepada Menteri Keuangan.
d Setelah Menteri Keuangan menandatangani keputusan dimaksud, maka Kepala kantor Pelayanan Pajak membuat petikan Keputusan Menteri Keuangan tentang Penghapusan Piutang Pajak dari Salinan Keputusan Menteri Keuangan yang diterimanya
DALUARSA PENAGIHAN PAJAK.
Daluarsa penagihan merupakan suatu batasan waktu yang ditentukan oleh undang-undang bahwa fiskus tidak mempunyai hak lagi untuk melakukan penagihan terhadap utang pajak Wajib Pajak. Daluarsa penagihan dimaksudkan untuk menegaskan adanya kepastian hukum bagi Wajib Pajak terhadap suatu utang pajak untuk tidak ditagih lagi. Ketentuan daluwarsa penagihan diatur dalam Pasal 22 Undang-undang KUP No. 16 Tahun 2000 yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut
:
Ayat (1) “Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah lampau waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian tahun Pajak atau Tahun Pajak yang bersangkutan.”
Ayat (2) “Daluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (91) tertangguh apabila:
- Diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa;
- Ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung;
- Diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau Surat ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4).”
Apabila terhadap Wajib Pajak telah dilakukan hal-hal seperti • dimaksud ayat (2) huruf a, b, dan c, maka daluwarsa penagihan pajak dihitung sejak dilaksanakannya hal-hal tersebut. Misalnya terhadap Tuan Amir telah diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa, maka daluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Paksa.
Pengertian adanya pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung dijelaskan misalnya:
aWajib Pajak mengajukan pernohonan angsuran atau penundaan pembayaran utang pajak sebelum jatuh tempo pembayaran. Dalam seperti ini daluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal surat permohonan angsuran atau penundaan pembayaran utang pajak diterima oleh Direktur , Jenderal Pajak.
b.Wajib Pajak mengajukan keberatan . Dalam hal seperti ini daluarsa penagihan dihitung sejak tanggal surat keberatan Wajib Pajak diterima Direktur Jenderal Pajak.
c.Wajib Pajak melaksanakan pembayaran sebagian utang pajaknya. Dalam hal seperti ini daluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal pembayaran sebagian utang pajak tersebut
.
Terhadap Wajib Pajak yang terbukti melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan fiskus menerbitkan SKPKB atau SKPKBT, maka dalam hal demikian, daluarsa penagihan dihitung sejak tanggal penerbitan ketetapan tersebut.