materi kuliah bahasa inggris (Adjectives)

materi kuliah bahasa inggris (Adjectives)

 

 

We use adjectives to describe nouns.

Most adjectives can be used in front of a noun…:

-They have a beautiful house.
-We saw a very exciting film last night.

or after a link verb like be, look or feel:

-Their house is beautiful.
-That film looks interesting

 

·        Order of Adjectives

Sometimes we use more than one adjective in front of a noun:

-He was a nice intelligent young man.
-She had a small round black wooden box.

1.      Opinion adjectives:

Some adjectives give a general opinion. We can use these adjectives to describe almost any noun:

good bad lovely  strange
beautiful nice brilliant excellent
awful important wonderful nasty

Some adjectives give a specific opinion. We only use these adjectives to describe particular kinds of noun:

Food                           :  tasty; delicious
Furniture, buildings  :  comfortable; uncomfortable
People, animals          :  clever; intelligent; friendly

We usually put a general opinion in front of a specific opinion:

  • Nice tasty
  • A nasty uncomfortable armchair
  • A lovely intelligent animal

 

  1. Descriptive adjectives

Usually we put an adjective that gives an opinion in front of an adjective that is descriptive:

a nice red dress; a silly old man; those horrible yellow curtains

We often have two adjectives in front of a noun:

a handsome young man; a big black car; that horrible big dog

Sometimes we have three adjectives, but this is unusual:

  • a nice handsome young man;
  • a big black American car;
  • that horrible big fierce dog

It is very unusual to have more than three adjectives.

Adjectives usually come in this order:

1 2 3 4 5 6 7 8
General
opinion
Specific
opinion
Size  Shape Age  Colour Nationality Material

We use some adjectives only after a link verb:

Afraid alive alone asleep
Content glad  ill ready
Sorry sure unable well

Some of the commonest -ed adjectives are normally used only after a link verb:

annoyed;  finished;  bored; pleased; thrilled

We say:

Our teacher was ill.
My uncle was very glad when he heard the news.
The policeman seemed to be very annoyed

but we do not say:

We had an ill teacher.
When he heard the news he was a very glad uncle
He seemed to be a very annoyed policeman

A few adjectives are used only in front of a noun:

north
south
east
west
northern
southern
eastern
western
countless
occasional
lone
eventful
indoor
outdoor

We say:

He lives in the eastern district.
There were countless problems with the new machinery.

but we do not say:

The district he lives in is eastern
The problems with the new machinery were countless.

 ·        Comparative and Superlative Adjectives

Comparative :

-er …………..than

          more……….than

Superlative:

the ………….-est

the most ………….

  1. Comparative Adjectives

We use comparative adjectives to describe people and things:

This car is certainly better but it’s much more expensive.
I’m feeling happier now.
We need a bigger garden

We use than when we want to compare one thing with another:

She is two years older than me.
New York is much bigger than Boston.
He is a better player than Ronaldo.
France is a bigger country than Britain.

When we want to describe how something or someone changes we can use two comparatives with and:

The balloon got bigger and bigger.
Everything is getting more and more expensive.
Grandfather is looking older and older.

We often use the with comparative adjectives to show that one thing depends on another:

When you drive faster it is more dangerous
> The faster you drive, the more dangerous it is.
When they climbed higher it got colder
> The higher they climbed, the colder it got.

2.      Superlative Adjectives

We use the with a superlative:

It was the happiest day of my life.
Everest is the highest mountain in the world.
That’s the best film I have seen this year.
I have three sisters, Jan is the oldest and Angela is the youngest .

 

-ING ; -ED  ADJECTIVES

-ing : active force –   the –ing  adjective goes with the original subject of a sentence -ed  : passive force  —   the –ed   adjective goes with the original object of a sentence

 

 (active)

1.The game excited the audience. The game (excite) …………………. . It (excite) …………….game.

2.The work tired the boy . The work (tire) …………………. . It (tire) …………………… work.

  1. The lecture bored the students. The lecture (bore) ………………….. . It (bore) …………….lecture.

4.The experience disappointed the men. The experience (disappoint) ………………………. . It (disappoint) …………………… experience.

  1. The sight of a bear nearby terrified the campers. The sight of a bear nearby was ………… .

6.The chemical substance purified the water. The chemical substance was …………………..

 

(passive)

1.The audience was excited. The …………………..audience.

2.The boy was tired. The ………………… boy.

  1. The students were bored. .The ………………….student.

4.The men were disappointed. The ………………….. men.

  1. The campers were terrified. The ……………….. campers.
  2. The water was purified. The …………… water.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

MATERI KULIAH PIH / PHI SMESTER I

PIH / PHI

PENGANTAR ILMU HUKUM

 

  1. MANUSIA DAN MASYARAKAT

 

  1. Manusia sebagai mahluk sosial

Kodrat manusia dimanapun dan zaman apapun juga selalu hidup bersama. Menurut Aristoteles (384 – 322 SM) Filosof Yunani Kuno :’manusia adalah ZOON POLITICON’, artinya bahwa manusia sebagai mahluk pada dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia lainnya, jadi mahluk yang suka bermasyarakat, karenanya disebut juga mahluk social.

 

  1. Masyarakat

Adalah: persatuan manusia yang timbul dari kodrat yang sama. Masyarakat itu terbentuk bila ada dua orang atau lebih hidup bersama.

 

  1. Golongan-golongan dalam masyarakat

Dalam masyarakat terdapat golongan, misalnya kelompok pelajar/mahasiswa yang timbul karena hubungan keluarga, perkumpulan dan sebagainya. Golongan tersebut disebabkan karena orang:

  1. Merasa tertarik oleh orang lain yang tertentu
  2. Merasa mempunyai kesukaan yang sama
  3. Merasa memerlukan kekuatan/bantuan orang lain
  4. Mempunyai hubungan daerah dengan orang lain
  5. Mempunyai hubungan kerja dengan orang lain

 

Sifat golongan dalam masyarakat itu bermacam-macam dan bergantung pada dasar dan tujuan hubungan orang-orang dalam golongan tersebut. Pada umumnya ada tiga macam golongan yang besar yaitu:

  • Golongan yang berdarakan hubungan kekeluargaan: perkumpulan keluarga;
  • Golongan yang berdarakan hubungan kepentingan/pekerjaan; perkumpulan ekonomi, koperasi, serikat pekerja;
  • Golongan yang berdarakan hubungan tujuan/pandangan hidup atau ideology; parpol, perkumpulan keagamaan.

 

  1. Bentuk masyarakat:
  2. Yang berdasarkan hubungan yang diciptakan para anggotanya:
  • Masyarakat paguyuban (gemeinschaft), apabila hubungan itu bersifat kepribadian dan menimbulkan ikatan batin, misal rumah tangga, perkumpulan kematian dsb.
  • Masyarakat petembayan (geselschaft), apabila hubungan itu bersifat tidak kepribadian dan bertujuan untuk mencapai keuntungan kebendaan, misal: firma, Perseroan Komanditer, PT, dll.
  1. Yang berdasarkan sifat pembentukan, yaitu:
  • Masyarakat yang teratur oleh karena sengaja diatur untuk tujuan tertentu, misal:perkumpulan olahraga
  • Masyarakat yang teratur tetapi terjadi dengan sendirinya, oleh karena itu orang yang bersangkutan mempunyai kepentingan bersama, misal para penonton bioskop/ pertandingan sepak bola, dll.
  • Masyarakat yang tidak teratur, misal para pembaca suatu surat kabar;
  1. Yang berdasarkan hubungan kekeluargaan: rumah tangga, sanak saudara, suku, bangsa, dll
  2. Yang berdasarkan perikehidupan/kebudayaan :
  • Masyarakat primitive dan modern
  • Masyarakat desa dan kota
  • Masyarakat territorial, yang anggotanya bertempat tinggal didalam 1 daerah
  • Masyarakat genealogis, yang anggotanya memiliki pertalian darah
  • Masyarakat territorial-genealogis, yang anggotanya bertempat tinggal dalam satu daerah dan mereka adalah sekuturunan.

 

  1. Pendorong hidup bermasyarakat

Penyebab manusia selalu hidup bermasyarakat ialah: antara lain dorongan kesatuan biologis yang terdapat dalam naluri manusia, misal:

  1. Hasrat untuk memenuhi makan dan minum
  2. Hasrat untuk membela diri
  3. Hasrat untuk mengadakan keturunan

 

  1. Tata hidup bermasyarakat

Dalam masyarakat yang teratur, manusia/ anggota masyarakat itu harus memperhatikan kaedah-kaedah, norma-norma, ataupun peraturan-peraturan hidup tertentu yang ada dan hidup dalam masyarakat dimana ia hidup. Peraturan hidup kemasyarakatan yang bersifat mengatur dan memaksa untuk menjamin tatatertib dalam masyarakat,dinamakan peraturan hukum atau kaedah hukum.

 

  1. PENGERTIAN HUKUM
  2. Apa itu hukum?

Menurut Utrecht, hukum adalah himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengurus suatu tata terib masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu.

  1. Unsur-unsur Hukum:
  2. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat
  3. Peraturan itu diadakan oleh badan resmi yang berwajib
  4. Peraturan bersifat memaksa (imperative)
  5. Sanksi terhadap pelanggar peraturan itu tegas.

 

  1. Ciri-ciri Hukum:
  2. Adanya perintah dan / atau larangan
  3. Perintah dan / atau larangan harus ditaati setiap orang.

 

  1. Sifat Hukum: mengatur dan memaksa

 

  1. Tujuan hukum: menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula bersendikan pada keadilan, yaitu: asas-asas keadilan dari masyarakat.

 

PENEMUAN HUKUM

 

  1. PEMBENTUKAN HUKUM OLEH HAKIM
  2. Hakim sebagai faktor Pembentuk Hukum

Berdasarkan Pasal 21 Algemen Bepalingen dikatakan bahwa Keputusan Hakim juga diakui sebagai sumber hukum formal. Dengan demikian oleh peraturan perundangan telah diakui bahwa pekerjaan hakim merupakan faktor pembuat hukum. Hal senada juga dikatakan Mr Paul Scholten :”bahwa hakim itu menjalankan ‘rechtsvinding’ (turut serta menemukan hukum).

 

 

  1. Keputusan Hakim Bukan Peraturan Umum

Walau hakim ikut menciptakan peraturan perundangan, namun kedudukan hakim bukanlah sebagai pemegang kekuasaan legislatif (Badan Pembentuk Perundangan) karena hal itu kewenangan DPR, karenanya kepuutusan hakim tidak mempunyai kekuatan hukum yang berlaku seperti peraturan umum.

 

Keputusan hakim hanya berlaku pada pihak-pihak yang bersangkutan. Hal itu sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 21 A.B. bahwa hakim tidak dapat memberi keputusan yang akan berlaku sebagai peraturan umum. Hal senada diperkuat Ps. 1917 (1) KUHS, bahwa kekuasaan keputusan hakim hanya berlaku tentang hal-hal yang dapat diputuskan dalam keputusan itu. Selain itu bila ada suatu UU isinya masih belum jelas, maka hakim berkewajiban untuk menafsirkannya sehingga dapat diberikan keputusan yang adil dan sesuai dengan maksud hukum, yakni mencapai kepastian hukum.

 

  1. INTERPRETASI HUKUM

Dengan adanya kodifikasi hukum itu lalu menjadi beku, statis, sukar berubah. Adapun yang selalu melaksanakan kodifikasi hukum ialah hakim, karerna dialah yang berkewajiban menegakan hukum ditengah masyarakat.

Walau kodifikasi telah diatur selengkap-lengkapnya, namun masih banyak kekurangan, hal mana saat kodifikasi dibuat, ada hal-hal atau benda-benda yang belum ada atau belum dikenal, misalnya listrik. Sekarang listrik telah dianggap benda, sehingga barang siapa menyambungkan tanpa izin yang berwajib, termasuk melanggar hukum yaitu pencurian.

Karena hukum bersifat dinamis, dengan demikian terdapat keluwesan hukum (rechtslenigheid) sehingga hukum kodifikasi berjiwa hidup yang dapat mengikuti perkembangan zaman. Ternyata untuk memberi putusan yang seadil-adilnya seorang hakim harus mengingat adat kebiasaan, jurisprudensi, ilmu pengetahuan, pendapat hakim sendiri dengan memperhatikan penafsiran (interpretasi).

Ada beberapa macam interpretasi/ penafsiran:

  1. Penafsiran tata bahasa (gramatikal), yaitu cara penafsiran berdasarkan pada bunyi ketentuan undang-undang, dengan berpedoman pada arti perkataan-perkataan dalam hubungannya satu sama lain dalam kalimat-kalimat yang dipakai oleh undang-undang; yang dianut ialah semata-mata arti perkataan menurut tatabahasa atau menurut kebiasaan, yakni arti dalam pemakaian sehari-hari.. Contoh, suatu peraturan melarang memarkir kendaraan pada suatu tempat tertentu. Peraturan tersebut apa yang dimaksud kendaraan? Apakah hanya kendaraan bermotor atau juga termasukk sepeda dan dendi.
  2. Penafsiran sahih, (autentik, resmi), penafsiran yang pasti terhadap arti kata-kata itu sebagaimana yang diberikan oleh pembentuk undang-undang, misalnya Ps. 98 KUHP: “malam” berarti waktu antara matahari terbenam dan matahari terbit; Pasal 101 KUHP: “ternak” berarti hewan yang berkuku satu, hewan memamah biak dan babi.
  3. Penafsiran historis, yaitu: a) yang diselidiki sejarah hukumnya (sejarah terjadinya hukum tersebut), dapat dilihat dari memori penjelasan, perdebatan dalam DPR. b) sejarah undang-undangnya, yang diselidiki maksud pembentuk undang-undang pada waktu membuat undang-undang itu, misalnya didenda f 25, sekarang ditafsiri Rp, sebab harga barang lebih mendekati pada waktu KUHP dibuat.
  4. Penafsiran sistematis, dogmatis penafsiran menilik susunan yang berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam undang-undang itu maupun dengan undang-undang lain. Misal “asas monogami”.
  5. Penafsiran nasional, yaitu penafsiran menilik sesuai tidaknya dengan sistem hukum yang berlaku. Misal, hak milik ps.570 KUHS sekarang ditafsirkan sistem hukum pancasila.
  6. Penafsiran teleologis, (sosiologis) yaitu penafsiran dengan mengingat maksud dan tujuan undang-undang itu. Ini penting mengingat kebutuhan berubah-ubah sedangkan bunyi uu tetap sama.
  7. Penafsiran ekstensif, Yaitu penafsiran dengan memperluas arti kata-kata dalam peraturan itu sehingga suatu peristiwa dapat dimasukannya seperti ‘aliran listrik’ termasuk juga ‘benda’.
  8. Penafsiran restriktif, yaitu penafsiran dengan membatasi (mempersempit) arti kata dalam peraturan itu. Misal, ‘kerugian’ tidak termasuk kerugian yang tidak terwujud seperti, sakit,cacat, dsb.
  9. Penafsiran analogis, tafsir dengan memberi kiyas (ibarat) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya seperti ‘menyambung aliran listrik’ dianggap sama dengan ‘mengambil aliran listrik’
  10. Penafsiran a contrario, menurut pengingkaran, yaitu penafsiran uu yang didasarkan pada perlawanan pengertian. Contoh, Ps. 34 KUHS menentukan bahwa seorang perempuan tidak diperkenankan lagi menikah sebelum liwat waktu 300 hari setelah perkawinan terdahulu diputuskan. Timbul pertanyaan, bagaimana dengan seorang lelaki?

 

  1. PENGISIAN KEKOSONGAN HUKUM

Badan legislative menentukan uu yang berlaku sebagai peraturan umum, namun pertimbangan dalam pelaksanaan diserahkan pada hakim sebagai pemegang kekuasaan yudikatif.

Berhubung dengan hal itu (peraturan perundangan yang statis dan masyarakat yang dinamis), maka hakim harus sering memperbaiki UU itu agar sesuai dengan kenyataan yang hidup dalam masyarakat.

  1. Hakim memenuhi kekosongan hukum

Dalam hubungan ini bila hakim menambah peraturan perundangan, maka berarti hakim memenuhi ruangan kosong (leemten) dalam sistem hukum formal dari tata hukum yang berlaku. Hakim dapat dan bahkan harus memenuhi kekosongan yang ada dalam sistem hukum, asalkan tidak membawa perubahan prinsipiil pada sistem hukum yang berlaku.

  1. Konstruksi hukum

Contoh: Ps. 1576 KUHS :” Bahwa penjualan (jual beli) tidak dapat memutuskan perjanjian sewa menyewa sebelum jangka waktu sewa menyewa itu berakhir (koop breekt geen huur). Pertanyaannya apakah “pemberian”, “pewarisan” dan “penukaran” dapat memutuskan perjanjian sewa menyewa?

Dalam soal tersebut, perbuatan “pemberian”, “pewarisan” dan “penukaran” mengandung kesamaan yaitu “mengasingkan” (vervreemden) suatu benda.

Pengasingan (menyerahkan kepada orang lain, memindahtangankan), itu mencakup penjualan, pemberian, penukaran dan pewarisan;

Jadi pengasingan adalah suatu perbuatan hukum yang oleh yang melakukannya diarahkan kepenyerahan (pemindahan) suatu benda. Dari hal itu, hakim dapat membuat pengertian hukum : pengasingan tidak memutuskan suatu perjanjian sewa menyewa.

 ILMU HUKUM SEBAGAI ILMU KAEDAH HUKUM DAN PENGERTIAN HUKUM

HAKEKAT KAEDAH

  1. Tata tertib masyarakat

 

Agar manusia dapat memenuhi kebutuhannya dengan aman dan damai tanpa gangguan, maka perlu ada suatu tata (orde = ordnung). Tata itu berwujud aturan yang menjadi pedoman bagi tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup, sehingga kepentingan dapat terpeihara dan terjamin Setiap anggota masyarakat mengetahui hak dan kewajiban masing-masing, tata itu lazim disebut Kaedah (bahasa arab atau norma bahasa latin).

Guna norma: untuk memberi petunjuk pada manusia bagaimana seorang harus bertindak dalam masyarakat serta perbuatan mana yang harus dijalankan dan perbuatan mana yang yang harus dihindari. Norma dapat dipertahankan dengan sanksi bagi siapa saja yang melanggar.

 

 

  1. Kaedah dalam kenyataan

 

Beberapa contoh peraturan hidup, misalnya:

  • Orang yang tahu aturan tidak akan berbicara sambil mengisap rokok dihadapan orang yang pantas untuk dihormati;
  • Seorang tamu yang hendak pulang, harus diantar sampai diambang pintu.

Norma memiliki tujuan agar kepentingan masing-masing warga masyarakat dan ketentramannya tetap terpelihara dan terjamin. Dalam pergaulan hidup dibedakan 4 macam norma:

 

  1. Norma Agama

Ialah peraturan hidup yang diterima sebagai perintah-perintah, larangan- larangan dan anjuran-anjuran yang berasal dari Tuhan. Norma agama bersifat universal. Misal: i) hormatilah orang tuamu, agar supaya engkau selamat ! “Kitab Injil Perjanjian Lama: Hukum yang ke-4”. Ii) ‘Janganlah berbuat riba, jika berbuat riba, engkau akan masuk neraka untuk selamanya” (QS. Albaqarah: 275).

  1. Norma Kesusilaan

Ialah peraturan hidup yang dianggap sebagai suara hati sanubari manusia. Peraturan ini berupa bisikan kalbu atau suara batin yang diinsyafi sebagai pedoman dalam sikap dan perbuatannya. Misal: Hendaklah engkau berlaku jujur!., hendaklah engkau berbuat baik pada sesama manusia!; Kadang juga terdapat peraturan hidup seperti terdapat dalam norma agama, seperti: janganlah engkau membunuh sesamamu.

  1. Norma Kesopanan

Ialah peraturan hidup yang timbul dari pergaulan segolongan manusia. Peraturan ini, satu golongan tertentu masyarakat dapat menetapkan peraturan tertantu tentang kesopanan, yaitu apa yang boleh dan yang tidak, misal: hormatilah orang tuamu !,, Berilah tempat duduk terlebih dahulu kepada wanita dalam kendaraan umum !

Norma kesopanan berlaku secara regional. Pelanggran norma-norma diatas memiliki sanksi seperti: Pelanggar norma agama diancam hukum dari Tuhan, Kesusilaan menimbulkan rasa cemas dan kesal hati bagi pelanggarnya, dan pelanggar norma kesopanan menimbulkan celaan atau pengasingan dari lingkungan masyarakat.

  1. Norma Hukum

Norma ini dibuat oleh penguasa Negara. Isinya mengikat setiap orang dan pelaksanaannya dapat dipertahankan dengan segala paksaan oleh alat-alat Negara, misalnya: “Barangsiapa dengan sengaja mengambil jiwa orang lain, dipidana karena membunuh dengan hukuman maksimal 15 tahun”.

 

ILMU HUKUM SEBAGAI ILMU PENGERTIAN

Menurut Prof. Kusumadi,, ilmu pengeteahuan hukum terdiri atas pelbagai ilmu pengetahuan tentang hukum, diantaranya ilmu hukum sebagai pengetahuan hukum (disamping ilmu pengetahuan hukum positif, ilmu pengetahuan sosiologi hukum, ilmu pengetahuan sejarah hukum, ilmu pengetahuan Perbandingan hukum, ilmu pengetahuan filsafat hukum, ilmu pengetahuan politik hukum, dsb).

Dalam ilmu hukum sebagai ilmu pengertian hukum, perlu diketahui beberapa pengertian seperti: Masyarakat hukum, subyek hukum, obyek hukum, peristiwa hukum, dsb.

MASYARAKAT HUKUM

Penduduk Indonesia, dapat dibagi:

  1. Warganegara: setiap orang yang menurut UU adalah termasuk warganegara
  2. Orang asing: orang yang bukan warganegara

Di zaman kolonial Belanda, menurut I.S. Ps. 163 (1), penduduk Indonesia dibagi 3 golongan penduduk, yaitu:

  • Golongan Eropah
  • Golongan Timur Asing
  • Golongan Bumiputra (Indonesia)

SUBYEK HUKUM DAN OBYEK HUKUM

  1. Subyek Hukum

Dalam dunia hukum perkataan orang (person) berarti pembawa hak yaitu sesuatu yang mempunyai hak dan kewajiban dan disebut subyek hukum. Subyek Hukum terdiri dari:

  1. Manusia (natuurlijke persoon)
  2. Badan hukum (rechtspersoon).
  3. Obyek Hukum (benda)

Yaitu segala sesuatu yang berguna bagi subyek hukum dan yang dapat menjadi obyek sesuatu perhubungan hukum. Obyek hukum biasanya berupa benda, yang terdiri dari:

  • Benda berwujud, yt: segala sesuatu yang dapat diraba oleh pancaindera, seperti rumah, buku, dll.
  • Benda yang tak berwujud (immaterial) yt: segala macam hak, seperti hak cipta, merek dagang, patent, dll.

Selanjutnya menurut Ps. 504 KUHS, benda dapat dibagi atas:

  1. Benda yang tak bergerak (tetap), yaitu benda yang tak dapat dipindahkan, seperti tanah, dan bangunannya, dll. Kapal yang besarnya 20m3 termasuk juga benda tetap.
  2. Benda yang bergerak (tidak tetap), yt: benda-benda yang dapat dipindahkan, seperti, sepeda, meja,dll.

 

Tata Hukum

Adalah: semua peraturan-peraturan hukum yang diadakan/ diatur oleh Negara atau bagian-bagiannya dan berlaku pada waktu itu seluruh masyarakat dalam Negara itu.

Tujuan tata hukum

Adalah: untuk mempertahankan, memelihara, dan melaksanakan tata tertib dikalangan anggota-anggota masyarakat dalam Negara itu dengan peraturan-peraturan yang diadakan oleh Negara atau bagian-bagiannya.

Hukum Tata Negara:

Sistem Pemerintahan Negara

Sistem Pemerintahan Negara yang ditegaskan dalam UUD 1945 adalah:

  1. Indonesia adalah Negara yang berdasar atas hukum (rechstaat, bukan atas berdasarkan kekuasaan belaka (machstaat).
  2. Sistem konstitusional, pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).

lll.        Kekuasaan Negara tertinggi berada ditangan MPR (amandemen), namun setelah dilakukan amandemen,maka tidak ada lagi lembaga tertinggi Negara, yang ada adalah lembaga tinggi Negara yang saling memberikan check and balances antara eksekutif, legislative dan yudikati

 

Hukum Perdata

  1. Kodifikasi hukum perdata Belanda tahun 1830

Sumber pokok Hukum Perdata (burgerlijk recht) ialah Kitab Undang-undang Hukum Sipil (Burgerlijk Wetboek), sebagian besar dari hukum perdata Perancis yaitu Code Napoleon tahun 1811-1838 dari akibat kedudukan Perancis di Belanda. Sebagian Code Napoleon adalah code civil, yang penyusunannya mengambil karangan pengarang Perancis tentang hukum Romawi (corpus juris civilis), saat itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Juga unsur kanoniek (hukum agama katholik) dan hukum adat setempat yang mempengaruhinya.

Setelah pendudukan di Perancis berakhir, pemerintah Belanda membentuk rencana kodifikasi hukum perdata yang diketuai Mr. J.M. Kemper dengan menggunakan code napoleon sebagai sumber terbesar dan sisanya hukum Belanda Kuno. Penyusunan selesai pada 5 Juli 1830 tetapi baru diresmikan 1 Oktober 1838. Saat itu dikeluarkan :

  1. Burgerlijk wetboek (KUHS)
  2. Wetboek van koophandel (KUHDagang)

Berdasarkan asas konkordansi, kodifikasi hukum perdata Belanda menjadi contoh bagi hukum perdata Eropah di Indonesia dan diumumkan pada 30-04-1847, stb. No.23 dan berlaku 1 Mei 1848 di Indonesia.

 

  1. Sistematika Hukum Perdata

Hukum Perdata (Burgerlijk recht) adalah rangkaian peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang lainnya, dengan menitik beratkan kepada kepentinga perseorangan.

Hukum Perdata (Burgerlijk recht) bersumber pokok pada Kitab Undang-undang Hukum Sipil atau Burgerlijk wetboek (BW) yang terdiri dari 4 buku, yaitu:

  • Buku l berjudul Perihal orang (van personen), yang memuat hukum perorangan dan hukum kekeluargaan;
  • Buku ll berjudul Perihal Benda (van zaken), yang memuat hukum benda dan hukum waris
  • Buku lll berjudul Perihal Perikatan (van verbintennissen), yang memuat hukum harta kekayaan yang berkenaan dengan hak-hak dan kewajiban yang berlaku bagi orang-orang atau pihak-pihak tertentu.
  • Buku lV berjudul Perihal Pembuktian dan Kadaluarsa (van bewijs en verjaring)

 

  1. HUKUM PERORANGAN

Orang “person” berarti pembawa hak, yaitu segala sesuatu yang mempunyai hak dan kewajiban dan disebut subyek hukum yang terdiri dari:

  1. Manusia (naturlijke persoon)
  2. Badan hukum (rechtspersoon)

Manusia sebagai pembawa hak (subyek hukum) berlaku mulai ia dilahirkan dan berakhir pada saat ia meninggal dunia. Namun seorang anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan, apabila kepentingan si anak menghendakinya, (Psl. 2 ayat 1 KUHS), selanjutnya jika ia dilahirkan mati, maka ia dianggap tidak pernah ada (Psl. 2 ayat 2 KUHS).

Disamping manusia sebagai pembawa hak, juga badan atau perkumpulan (rechtspersoon), misalnya Negara, provinsi, kabupaten, PT, Koperasi, Yayasan (stichting), wakaf, gereja, dll. Suatu rechtspersoon menjadi subyek hukum jika didirikan dan telah mendapatkan pengesahan dari kemenkumham.

Disamping manusia, maka rechtspersoon juga harus memiliki domisili, hal ini penting dalam hal:

  1. Dimana seorang harus menikah;
  2. Dimana seorang harus dipanggil oleh Pengadilan;
  3. Kompetensi pengadilan.

 

  1. HUKUM KELUARGA

Adalah rangkaian peraturan yang mengatur dari pergaulan hidup kekeluargaan. Termasuk dalm hukum keluarga yaitu:

  1. Kekuasaan orang tua (ouderlijke macht) Ps.198 KUHS. Setiap anak wajib hormat dan patuh terhadap orang tua, sebaliknya orang tua wajib memelihara dan memberi bimbingan anak-anaknya yang belum cukup umur sesuai dengan kemampuannya (kewajiban alimentaasi). Anak yang berusia 20 tahun dapat mengajukan dewasa (venia aetatis = handlichting) kepada kemenkumham.

Kekuasaan orang tua berlaku selama ayah dan ibunya masih hidup dalam perkawinan, namun berhenti bila:

  1. Anak telah dewasa
  2. Perkawinan orang tua putus
  3. Kekuasaan orang tua dipecat oleh hakim
  4. Pembebasan dari kekuasaan orang tua, misal karena kelakuan anak sangat buruk.
  5. Perwalian (voogdij) Ps.331 KUHS.

Perwalian terjadi karena: (1) perkawinan orang tua putus, (2) kekuasaan orang tua dipecat atau dibebaskan oleh hakim, dalam hal ini hakim mengangkat wali dari pejabat balai harta peninggalan (weeskamer).

  1. Pengampuan (curatele) Ps. 433 KUHS.

Orang yang telah dewasa namun (1) sakit ingatan, (2) pemboros, (3) tidak mampu mengurus kepentingan sendiri dengan semestinya sebab kelakuan buruk diluar batas atau mengganggu keamanan, memerlukan pengampuan. Diperlukan pengampu (curator), biasanya suami menjadi pengampu isteri atau sebaliknya, bisa juga hakim mengangkat pengampu lain missal BHP.

Orang dibawah pengampuan (kurandis), akibatnya dinyatakan tidak cakap.

Ada persamaan dan perbedaan antara kekuasaan orang tua, perwalian dan pengampuan. Persamaannya adalah semuanya mengawasi dan menyelenggarakan hubungan hukum orang-orang yang dinyatakan tidak cakap, sedangkan perbedannya, pada kekuasaan orang tua, kekuasaan asli dilaksanakan oleh orang tua sendiri yang masih dalam ikatan perkawinan; pada perwalian pemeliharaan dan bimbingan dilaksanakan oleh wali, dapat salah satu ibu atau bapaknya diluar ikatan perkawinan atau terhadap anak yang belum dewasa; sedang pada pengampuan bimbingan dilaksanakan oleh kurator (keluarga sedarah atau yang ditunjuk).

 

  1. Hukum Perkawinan

Hukum perkawinan ialah peraturan-peraturan hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan hukum serta akkibat-akibatnya antara dua pihak yaitu seorang laki-laki dan seorang wanita degan maksud hidup bersama untuk waktu yang lama menurut peraturan-peraturan dalam undang-undang.

Syarat-syarat dan pokok yang harus dipenuhi untuk sahnya perkawinan menurut hukum perdata barat antara lain;

  • Pihak-pihak calon mempelai dalam keadaan tidak kawin
  • Laki-laki berumur 18 tahun,perempuan 15 tahun
  • Dilakukan dimuka pegawai catatan sipil
  • Tidak ada pertalian darah yang terlarang
  • Dengan kemauaan yang bebas, dan sebagainya
  1. Hak dan kewajiban suami istri.
  • Kekuasaan marital dari suami
  • Wajib menafkahi (kewajiban alimentasi)
  • Istri mengikuti kewarganegaraan suaminya
  • Istri mengikuti tempat tinggal suaminya
  • Istri menjadi tiidak cakap bertindak. Didalam segala perbuatan hukum ia memerlukan bantuan dari suaminya, kecuali dalam beberapa hal antara lain;
  1. Perbuatan sehari-hari guna keperluan rumah tangga
  2. Mengadakan perjanjian kerja sebagai majikan guna kepentingan rumah tangga
  3. Melakukan pekerjaan bebas (dokter, pengacara)
  4. Membuat wasiat (testamen)
  5. Membuat perjanjian kerja sebagai buruh
  6. Memperoleh hak atas suatu benda
  7. Menyimpan dan mengambil uang di bank tabungan pos
  8. Menganut perceraian, dan sebagainya

 

  1. Hubungan hukum dalam perkawian

Selanjutnya ikatan perkawinan itu penting juga artinya bagi keturunan dan hubungan kekeluargaan; sedangkan bagi pihak ketiga terutama penting untuk mengetahui kedudukan harta perkawinan.

Oleh hukum yang berlaku sekarang ditetapkan bahwa;

  • Anak-anak yang belum dewasa (belum 21 tahun dan tidak lebih dahulu talah kawin).
  • Orang-orang yang ada dibawah pengampuan.
  • Wanita yang bersuami, dianggap tidak cakap bertindak (hendelingsonbekwaam) didalam lalulintas hukum.

Apabila seseorang yang belum dewasa kawin, dan perkawinannya itu kemudian dibubarkan sebelum ia berumur genap 21 taahun, maka orang itu tetap dianggap dewasa dan ia tetap cakap bertindak dalam lalulintas hukum.

Seseorang yang cakap bertidak, akan tetrapi oleh hukum dicabut haknya untuk melakukan suatu perbuatan tertentu, maka ia disebut tidak berwenang bertindak.

  1. Putusnya perkawinan

Sebab-sebab putusnya perkawinan ialah;

  • Kematian
  • Kepergian suami atau istri selama 10 tahun
  • Akibat perpisahan meja makan dan tempat tidur
  • Perceraian

 

HUKUM PERKAWINAN INDONESIA BERDASARKAN

UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974

 

  1. Sistematik dan isi pokok undang-undanng perkawinan tahun 1974.

Undang-undang no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan (selanjutnya disebut undang-undang perkawinan,dan disingkat UUP) disahkan persiden pada tanggal 2 januari 1974 dan diundangkan dalam lembaran negra tahun 1974 no. 1 dan penjelasannya dimuat dalam tambahan lembaran Negara no. 3019.

UUP ini mempunyai sistematik sebagai berikut;

  • Konsiderans
  1. Dasar pertimbangan
  2. Dasar hukum
  • Dictum yang berbunyi; memutuskan; menetapkan undang-undang tentang perkawinan
  • Batang tubuh atau isi undang-undang perkawinan
  • Penjelasan undanga-undang perkawinan,
  1. Penjelasan umum
  2. Penjelasan pasal demi pasal
  3. Konsiderans undang-undang no. 1 tahun 1974
  4. Dasar pertimbangan

Adapun dasar pertimbangan pemerintah republic Indonesia dan DPR untuk mengeluarkan undang-undang perkawinan ini ialah, bahwa sesuai dengan falsafah pancasila serta cita-cita u ntuk pembinaan hukum nasional, perlu adanya undang-undang entang perkawinan yang berlaku bagi warganegara semua Indonesia.

  1. Dasar hukum penyusunan undang-undang perkawinan

Sebagai dasar atau landasan bagi penyusunan undang-undang perkawinan ini disebutkan peraturan-peraturan yang berikut;

  1. UUD 1945
  2. Pasal 5 ayat 1
  3. Pasal 20 ayat 1
  4. Pasal 27 ayat 1
  5. Pasal 29 ayat 1, dan 2
  6. Ketetapan MPR no. IV/MPR/1974 tentang garis-garis besar haluan Negara. Antara lain;
  7. Landasan
  8. Modal dasar
  9. Agama dan kepercayaan terhadap tuhan yang maha esa
  10. Pembinaan keluarga sejahtera
  11. Hukum
  12. Pengertian umum tentang perkawinan menurut UUD no. 1 tahun 1974

Berkenaan dengan mutlak adanya undang-undang perkawinan, aneka ragam hukum perkawinan dan asas-asas perkawinan dalam undang-undang no. 1 tahun 1974 secara umum dijelaskan sebagai berikut;

  1. Mutlak adanya undang-undang perkawinan
  2. Aneka ragam hukum perkawinan di Indonesia
  3. Undang-undang perkawinan mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam pancasila dan UUD 1945.

Sesuai dengan landasan falsafah pancasila dan UUD 1945, maka UUD ini disatu fihak harus dapat mewujudka prinsip-prinsip yang terkandung daklam pancasila dan UUD 1945, sedangkan dilain fihak harus dapat pula menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat dewasa ini.

  1. Asas-asas perkawinan

Asas-asas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam undang-undang ini adalah sebagai berikut;

  1. Tujuan perkawinan

Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.

  1. Sahnya perkawinan

Dalam undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bila mana dilakukan menurut hukum masing-masing.agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundangan yang berlaku.

  1. Asas monogamy

Undang-undang ini menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengijinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang.

  1. Prinsip perkawinan

Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami istri harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.

  1. Mempersukar terjadinya perceraian

Untuk memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan didepan sidang pengadilan.

  1. Hak dan kedudukan istri

Hak kedudukan istri seimbang dengan hak kedudukan suami, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama.

  1. Jaminan kepastian hukum

Untuk menjamin kepastian hukum, maka perkawinan berikut segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum undang-undang ini berlaku, yang dijalankan menurut hukum yang ytelah ada adaklah sah.

  1. Dasar perkwinan (pasal 1 s/d pasal 5)
  2. Definisi perkawinan

Perkawinan ialah ikatan batin batin antera seorang pria denga seorang wanita sebagai suami isrti denga tujuan membentuk keluarga(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa.

  1. Syarat untuk sahnya perkawinan

Pasal 2 ayat 1 UUP menetapkan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

  1. Asas monogamy dalam perkawinan.

Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isrti, dan seorang istri hanya boleh mempunyai seorang suami. (pasal 3 ayat 1). Dari ketentuan ini jelaslah bahwa undang-undamng perkawinan ini mwnganut asas monogami.

  1. Syarat-syarat perkawinan (pasal 6 s/d 12)
  2. Syarat-ayarat untuk dapat melangsungkan perkawinan
  3. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai (pasal 1).
  4. Seorang yang belum berumur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua.(pasal 2)
  5. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia, atau dalam keadaan tidak mampuh menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat 2 pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih  hiidup atau dari orang tua yang mampuh menyatakan kehendaknya.(pasal 3)
  6. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau tidak mampuh untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus.(pasal 4).
  7. Dalam hal pada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam pasal diatas, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyataka pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut yang disebutkan dalam ayat diatas.(pasal 5)
  8. Ketentuan tersebut ayat 1 sampai 5 pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.(pasal 6)

Selanjutnya dalam pasal 7 uup ditegaskan hal-hal yang berikut;

  • Perkawinan hanya di izinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.
  • Dalam hal penyimpangan terhadap ayat 1 pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
  • Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam pasal 6 ayat 3 dan 4 undang-undang ini berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat 2 pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat 6.
  1. Larangan perkawinan

Menurut pasal 8 uup, perkawinan dilarang antara dua orang yang;

  1. Berhubungan darah dalam garis keturunana lurus kebawah etaupun keatas.
  2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping; antara saudara,antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.
  3. Berhubungan semenda
  4. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih darii seorang
  5. Berhubunggan susuan, orang tua susuan,anak susuan, saudara susuan, dan bibi/paman susuan.
  6. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi/kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristrin lebih dari seorang.
  7. Yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

Menurut pasal 9 uup,seorang yang masih terkait tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali;

  • Mendapat izin dari pengadilan (berdasarkan ketentuan pasal 3 ayat 2 uup yang disebutkan diatas)
  • Dengan alasan bahwa istri (pasal 4 uup)
  1. Tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri
  2. Mendapat cacad badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
  3. Tidak dapat melahirkan keturunan.

Ketentuan pasal 12 UUP ini tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam undang-undang no. 32 tahun 1954 tentang penetapan undang-undang tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk diseluruh luar jawa dan Madura.

  1. pencegahan perkawinan (pasal 13 s/d 21)
  2. syarat dan pihak yang berhak mencegah perkawinan

Adapun para pihak yang dapat mencegah perkawinan menerut pasal 14 dan ayat 1 ialah;

  1. para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan kebawah
  2. saudara
  3. wali nikah
  4. wali
  5. pengampu dari salah satu calon seorang mempelai
  6. pihak-pihak yang berkepentingan
  7. Penjabat yang berwenagmencegah berlangsungnya perkawinan

Juga seorang penjabat yang ditunjuk, menurut pasal 16 ayat 1 beerkewajuiban menncegah berlangsungnya perkawinan apabila tidak memenuhi ketentuan-ketentuan yang berikut;

  1. pihak pria belum mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita belum mwncaoai umur 16 tahun
  2. terkene larangan perkawinan kaerena hal-hal yang disebabkan dalam pasal 8 undang-undang tersebut di atas.
  3. Seorang yang masih terkait dalam perkawinan dengan orang lain dan tidak mendapat izin pengadilan untuk dapat kawin lagi (vide pasal 9)
  4. Suami dan istri yang sudah cerai dan kawin lagisatu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain (vide pasal 10)
  5. Tidak memenuhi tata cara pelaksana perkawinan yang akan diatur tersendiri (vide pasal 12)

Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan pengadilan daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan, kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan dimaksud oleh pegawai pencatan perkawinan.

Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan pengadilan atau dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada pengadilan oleh yang mencegah. Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegah belum dicabut.

  1. Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan perkawinan yang melanggar peraturan UUP

Sesuai dengan ketentuan pencegahan perkawinan huruf a s/d e dalam pasal 16 ayat 1 yang disebutkan diatas, maka pegawai pencatat perkawinan , mwnurut pasal 20 UUP, tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu adanya pelanggaran dari ketentuan dalam pasal 7 ayat 1, pasal 8, pasal 9, pasal 10, dan pasal 12 UUP. Meskipun tidak ada pencegahan perkawinan (yang diajukann oleh para pihak yang bersangkutan).

  1. Batalnya perkawinan

Syarat-syarat pembatalan perkawinan

Menurut Ps.22 UUP, suatu perkawinan dapat dibatalkan, bila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.

Pengertian ‘dapat’ pada pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain.

Pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan, menurut Pasal 21 UUP ialah:

  1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri
  2. Suami atau istri

 

  1. Hak dan kewajiban suami istri (Ps.30 s/d 34)

Pasal 31, suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumahtangga. Selanjutnya dalam Ps.34 ditegaskan bahwa:

  1. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumahtangga sesuai kemampuannya.
  2. Istri wajib mengatur urusan RT sebaik-baiknya
  3. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan ke pengadilan.

HUKUM PERIKATAN (VERBINTENISSENRECHT)

 

Yaitu hubungan hukum antara 2 orang atau lebih yang menyebabkan pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak yang lain mempunyai kewajiban untuk melakukan atau memberikan sesuatu. Pihak yang berkewajiban memenuhi perikatan disebut debitur, sedang pihak yang berhak atas pemenuhan sesuatu perikatan disebut kreditur.

Obyek perikatan ialah prestasi, yaitu pemenuhan hal berupa:

  1. Memberikan sesuatu, seperti membayar harga, menyerahkan barang, dsb.
  2. Berbuat sesuatu, misalnya memperbaiki barang yang rusak, membongkar bangunan, kesemuanya atas putusan pengadilan.
  3. Tidak berbuat sesuatu, misalnya tidak mendirikan bangunan, kesemuanya atas putusan pengadilan..

Debitur yang tidak memenuhi perikatan disebut wanprestasi (cidera janji). Dari hukum perikatan dapat timbul hak-hak relative (hak-hak perseorangan = persoonlijke rechten) yaitu hak-hak yang hanya wajib dihormati dan diakui oleh orang-orang yang berkepentingan saja misalnya hak tagihan, hak menyewa, hak memungut hasil dan sebagainya.

Berakhirnya perikatan karena:

  1. Pembayaran (betaling) artinya jika kewajiban terhadap perikatan itu telah terpenuhi. Pembayaran harus diartikan luas misalnya seorang pekerja melakukan pekerjaan termasuk juga pembayaran. Ada kemungkinan pihak ketiga yang membayar hutang seorang debitur kemudian ia sendiri menjadi pengganti kreditur baru pengganti kreditur yang lama.
  2. Penawaran bayar tunai diikuti penyimpanan (consignatie) yaitu pembayaran tunai yang diberikan oleh debitur, namun tidak diterima oleh kreditur tetapi kemudian oleh debitur disimpan di pengadilan. Kalau pengadilan mengesahkan pembayaran itu maka perikatan dianggap berakhir.
  3. Pembaharuan hutang (novasi) yaitu apabila hutang yang lama digantikan oleh hutang yang baru.
  4. Imbalan (vergelijking) atau kompensasi yaitu apabila kedua belah pihak saling mempunyai hutang, maka hutang mereka masing-masing diperhitungkan; misalnya A berhutang Rp.1000,00 kepada B, dan B berhutang Rp.800,00 kepada A, maka jika diadakan kompensasi sisa hutangnya Rp.200,00 (hutang A kepada B).
  5. Percampuran hutang (schuldvermenging) yaitu apabila dalam suatu perikatan kedudukan kreditur dan debitur ada disatu tangan seperti pada warisan, perkawinan dengan harta gabungan dan sebagainya. Contoh: seorang anak sebagai ahli waris memiliki hutang kepada bapaknya. Jika bapaknya meninggal, maka si anak (debitur) berhak untuk menerima warisan sekaligus hak tagihan pada dirinya sendiri, maka lunaslah hutang sianak.
  6. Pembebasan hutang (kwijtschelding der schuld) yaitu apabila kreditur membebaskan segala hutang-hutang dan kewajiban pihak debitur.
  7. Batal dan pembatalan (nietigheid of te niet doening) apabila perikatan batal atau dibatalkan misalnya karena pihak-pihak tidak cakap bertindak, terdapat keterpaksaan, penipuan atau kekeliruan, dsb.
  8. Hilangnya benda yang diperjanjikan (het vergaan der verschuldigde zaak) apabila benda yang diperjanjikan binasa, hilang atau tidak dapat diperdagangkan, maka perjanjian menjadi batal.
  9. Timbul syarat yang membatalkan (door werking ener ontbindende voor waarde) misalnya A akan memberi Rp.1000,00 kepada B tetapi B tidak lulus ujian SMA, maka pemberian tidak jadi.

Sumber Hukum Perikatan:

  1. Perjanjian (kontrak)
  2. Undang-undang

Ad. A. Perjanjian (kontrak)

Adalah: suatu perbuatan dimana seseorang atau beberapa orang mengikatkan dirinya kepada seorang atau beberapa orang lain. Syarat sahnya perjanjian menurut pasal 1320 BW adalah sebagai berikut:

  1. Ada persetujuan yang bebas dari para pihak, tidak boleh ada keterpaksaan (dwang), kekeliruan (dwaling) dan penipuan (bedrog);
  2. Kedua belah pihak harus cakap, jika syarat ini tidak dipenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan dengan perantaraan hakim;
  3. Ada obyek tertentu;
  4. Ada sebab yang dibolehkan, tidak boleh perjanjian atas sebab hukum yang dilarang oleh UU, bertentangan dengan keamanan atau ketertiban umum.

 

Ad. A. Perikatan yang bersumber dari Undang-undang

Perikatan yang bersumber dari Undang-undang dibagi 2 golongan:

  • Perikatan yang terjadi karena UU itu sendiri

Karena suatu keadaan telah ditentukan oleh peraturan perundangan, maka timbulah suatu perikatan seperti timbulnya hak dan kewajiban antara 2 pemilik pekarangan yang berdekatan (servituut); timbulnya wajib nafkah dan sebagainya.

  • Perikatan yang terjadi karena UU disertai dengan tindakan manusia yakni:
  1. Tindakan menurut hukum/ hakiki (rechtmatige daad);

Yaitu perbuatan manusia berdasarkan haknya seperti seorang yang atas kerelaannya sendiri mengurus urusan orang lain (zaakwaarneming) maka timbulah perikatan terhadap orang itu; seorang yang dengan dengan niat baik membayar hutang yang sebenarnya tidak ada, maka timbulah ikatan terhadap yang menerima uang untuk menyerahkan kembali dan orang yang telah membayarkan berhak menagih kembali;

  1. Tindakan melanggar hukum (onrechtmatige daad)

Tindakan ini diatur dalam Ps. 1365 KUHS dst: Seseorang yang telah melempar mangga dengan batu dan kena kaca milik orang lain. Baik menurut perasaan kesusilaan maupun kesopanan tindakan orang itu adalah tidak pantas dan oleh karenanya wajib membetulkan kembali atau memberikan ganti kerugian.

 

Ps 1365 BW: “setiap tindakan melanggar hukum yang menyebabkan kerugian kepada otrang lain, maka orang yang bersalah menyebabkan kerugian itu wajib memberikan ganti kerugian”.

Yurisprudensi mengartikan bahwa tindakan melanggar hukum itu ialah: (i) melanggar hak orang lain; (ii) Atau berlawanan dengan kewajiban hukum orang yang berbuat atau tidak berbuat itu sendiri; (iii) atau bertentangan dengan tata susila, atau (iv) berlawanan dengan sikap berhati-hati sebagaimana patutnya dalam pergaulan masyarakat terhadap diri atau orang lain.

 

HUKUM PERIKATAN & PERJANJIAN

  1. Perikatan dan Perjanjian

Perikatan dan perjanjian sesuatu hal yang berbeda, hal ini dapat dilihat dari sumber lahirnya suatu perikatan. Perikatan dapat lahir dari perjanjian dan UU. Suatu perjanjian yang dibuat dapat menyebabkan terjadinya perikatan bagi para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Dan dapat juga tanpa adanya perjanjian terlebih dahulu suatu perikatan telah lahir karena UU telah mengaturnya. Misal peroalan aliementasi, yaitu perikatan antara seorang anak untuk mengurus orang tuanya yang sudah tidak mampu (Psl 321 BW)

Perikatan menurut Prof. Subekti: suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara 2 orang yang memberi hak kepada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya sedangkan orang yang lainnya diwajibkan memenuhi tuntutan tersebut.

Perjanjian/kontrak (agreement dalam bahasa Inggris atau overeenkomst dalam bahasa Belanda) adalah: suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang yang lain untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini timbul suatu perhubungan antara 2 orang tadi yang dinamakan perikatan.

Perikatan bersifat abstrak sedang perjanjian mengandung pengertian yang konkrit..

 

 

  1. Asas Perjanjian

Ada 7 asas:

  1. Asas sistem terbuka (Buku lll BW), Hukum pelengkap yang bersifat melengkapi. Para pihak bebas membuat berbagai macam perjanjian dengan nilai sosial dan itikad baik.
  2. Asas Konsensualitas
  3. Asas Personalitas
  4. Asas i’tikad Baik (in good fait/ tegoeder trouw)
  5. Asas Pacta Sunt Servanda (1338 BW)
  6. Asas force majeur (overmacht)
  7. Asas Exeptio non adiempleti contractus

Adalah suatu pembelaan bagi debitur untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi akibat tidak dipenuhinya perjanjian, dengan alasan krediturpun telah melakukan suatu kelalaian. Asas ini berlaku dalam hal perjanjian timbal balik.

 

  1. FORCE MAJEUR

Istilah “force majeur” atau “Act of God” sering diterjemahkan menjadi “keadaan memaksa” atau “keadaan darurat”. Yang dimaksudkan adalah suatu keadan dimana pihak debitur dalam suatu kontrak terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau pristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak tersebut. Keadan atau peristiwa mana tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur, sementara debitur tersebut tidak dalam keadaan bertindak buruk. Dengan perkataan lain, bahwa peristiwa yang menyebabkan terjadinya force majeure tersebut tidak termasuk kedalam asumsi dasar (basic assumption) dari para pihak sewaktu membuat kontrak tersebut. Karena sekiranya pristiwa tersebut pada saat dibuat kontrak sudah dapat diduga akan terjadi, maka hal tersebut seyogyanya sudah dinegosiasikan diantara para pihak dalam kontrak yang bersangkutan. Contoh dari perristiwa yang menyebabkan terjadinya force majeure adalah banjir/air bah, angin putting beliung, gempa bumi, mogok buruh, munculnya peraturan baru yang melarang pelaksanaan prestasi dari kontrak tersebut, dan lain-lain.

 

Secara garis besarnya,suatu force majeure dari kontrak terdiri dari:

  1. Force majeure karena sebab-sebab yang tidak terduga.
  2. Force majeure karena keadan memaksa.
  3. Force majeure karena perbuatan tersebut dilarang.

Apabila torce majeure terjadi terhadap suatu kontrak, sehingga salah satu atau kedua pihak tidak dapat atau terhalang untuk melaksanakan prestasinya, maka para pihak dibebaskan untuk melaksanakan prestasi dan tidak ada 1 (satu) pihakpun yang dapat meminta ganti rugi karena tidak dilaksanakannya kontrak yang bersangkutan.

 

Suatu force majeure terhadap suatu kontrak dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

  1. Force majeure yang objektif

Force majeure objektif ini disebut juga dengan istilah physical impossibility. Yang dimaksudkan adalah bahwa force majeure tersebut terjadi pada benda yang merupakan obyek dari kontrak tersebut, sehingga prestasi tidak mungkin di penuhi lagi, tanpa adanya kesalahan dari pihak debitur. Misalnya, benda yang menjadi objek dari kontrak terbakar atau disambar petir.

  1. Force Majeure yang Subyektif

Pada force majeure yang subyektif, maka force majeure tersebut terjadi bukan terhadap benda yang merupakan objek dari kontrak yang bersangkutan, melainkan dalam hubungan dengan keadaan atau kemampuan dari debitur itu sendiri. Misalnya, jika debitur sakit berat atau cacat seumur hidup sehingga tidak mungkin lagi melakukan prestasi.

  1. Force majeure yang Absolut (impossibility)

Merupakan Force majeure dimana prestasi oleh debitur sama sekali tidak mungkin lagi dilaksanakan dalam keadaan bagaimanapun. Misalnya, jika barang yang menjadi obyek kontrak tersebut tidak mungkin diproduksi lagi karena pabriknya terbakar.

 

  1. Force majeure yang Relatif ‘impracticality’

Merupakan force majeure dimana pemenuhan prestasi secara normal tidak mungkin dilakukan, walaupunn secara tidak normal masih mungkin dilakukan. Misalnya, terhadap kontrak ekspor impor dimana tiba-tiba oleh pemerintah dibuat ketentuan yang melarang memasukan barang yang diimpor kedalam wilayah Negara tersebut. Hal ini menjadi tidak mungkin walau bisa mungkin dilakukan dengan cara penyelundupan.

  1. Force majeure yang Permanen

Adalah force majeure dimana prestasi sama sekali tidak mungkin dilakukan sampai kapanpun. Misalnya, kontrak pembuatan lukisan, tetapi sipelukis menderita sakit stroke yang tidak dapat disembuhkan sampai meninggal.

  1. Force majeure yang Temporer

Adalah force majeure dimana prestasi tidak mungkin dilakukan untuk sementara waktu, tetapi nantinya masih mungkin dilakukan. Misalnya, jika terjadi peristiwa tertentu pada suatu waktu tertentu. Contohnya, pada saat barang yang menjadi objek prestasi dari salah satu pihak tidak mungkin lagi diproduksi karena semua buruhnya mogok, sehingga pabriknya tidak beroperasi. Akan tetapi setelah buruhnya tidak mogok lagi dan pabriknya kembali beroperasi, maka prestasi dapat dilanjutkan lagi.

Menurut sebagian pakar hukum, ada juga asas kontrak lain yang tidak kalah penting yaitu asas obligatoir, yakni suatu asas yang menentukan bahwa jika suatu kontrak telah dibuat, maka para pihak telah terikat, tetapi keterikatannya itu hanya sebatas timbulnya hak dan kewajiban semata. Sedangkan prestasi tidak dapat dipaksakan karena kontrak kebendaan (zakelijke overeenkomst) belum terjadi. Jadi, dalam kontrak jual beli misalnya, maka dengan kontraknya saja, hak milik belum berpindah ‘baru obligatoir’, setelah ada serah terima (levering). Sedangkan hukum adat hanya mengenal asas kontrak riil yang dibuat secara ‘terang’ dan ‘tunai’ dan dilakukan didepan penghulu adat/ ketua adat, sekaligus melakukan levering.

 

  1. Syarat sahnya kontrak

Persyaratan kontrak yang sah menurut yuridis, sebagai berikut:

  1. Syarat objektif berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, ada 2 sebagai berikut:
  2. Perihal tertentu, dan
  3. Kausa yang diperbolehkan (halal)

Jika tidak terpenuhi salah satu dari 2 hal tersebut, berkonsekuensi kontrak menjadi tidak sah dan batal demi hukum (null and void).

  1. Syarat Subjektif berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, sebagai berikut:
  2. Adanya kesepakatan kehendak. Tidak dibenarkan adanya unsur-unsur sebagai berikut:
  • Paksaan (dwang, duress)
  • Penipuan (bedrog, fraud)
  • Kehilapan (dwaling, mistake)
  1. Adanya kecakapan bagi para pihak, yaitu orang-orang sebagai berikut:
  • Orang yang sudah dewasa
  • Orang yang tidak ditempatkan dibawah pengampuan
  • Wanita yang bersuami (syarat ini sudah tidak berlaku lagi)
  • Orang yang tidak dilarang dilarang melakukan perbuatan tertentu. Misal, antara suami istri dilarang melakukan kontrak jual beli.

Tidak dipenuhinya salah satu syarat subyektif tersebut berkonsekuensi yuridis bahwa kontrak ‘dapat dibatalkan’ (voidable, vernietigebaar) oleh salah satu pihak yang berkepentingan.

  1. Syarat Umum diluar Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu sebagai berikut:
  • Kontrak harus dilakukan dengan i’tikad baik
  • Kontrak tidak boleh bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku
  • Kontrak harus dilakukan dengan berdasarkan asas kepatutan
  • Kontrak tidak boleh melanggar kepentingan umum

Bila melangar dari 4 (empat) prinsip tersebut, maka berkonsekuensi yuridis bahwa kontrak tidak sah dan batal demi hukum (null and void)

  1. Syarat Khusus, sebagai berikut:
  • Syarat tertulis untuk kontrak-kontrak tertentu
  • Syarat akta notaris untuk kontrak-kontrak tertentu
  • Syarat akta pejabat tertentu (selain notaris) untuk kontrak tertentu
  • Syarat ijin dari pejabat yang berwenang untuk kontrak tertentu.

 

  1. Prestasi dan wanprestasi

Prestasi (dalam bahasa inggris ‘performance’) adalah pelaksanaan dari isi kontrak

yang telah diperjanjikan menurut tata cara yang telah disepakati bersama. Adapun

model-model prestasi dari suatu kontrak adalah sebagai berikut:

  1. Memberikan sesuatu
  2. Berbuat sesuatu
  3. Tidak berbuat sesuatu

Sedangkan pengertian wanprestasi, yang kadang-kadang disebut juga dengan istilah “cidera janji”, adalah kebalikan dari pengertian prestasi. dalam bahasa inggris untuk wanprestasi ini sering disebut dengan “default” atau “nonfulfillment” atau “breach of contract ”.Yang dimaksudkan adalah tidak dilaksanakannya suatu prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang telah disepakati bersama, seperti yang tersebut dalam kontrak yang bersangkutan.

 

Konsekukuensi yuridis dari tindakan.wanprestasi adalah timbulnya hak dari pihak yang dirugikan dalam kontrak tersebut untuk menuntut ganti kerugian dari pihak yang telah merugikannya, yaitu pihak yang telah melakukan wanprestasi tersebut.

 

Sedangkan ganti rugi yang dapat dituntut karena wanprestasi adalah :

  1. Kosten, yaitu kerugian yang berupa biaya-biaya konkrit yang telah dikeluarkan;
  2. Schaden, yaitu kerugian yang sungguh-sungguh menimpa harta bendanya;
  3. Interessen, yaitu keuntungan yang akan diperolehnya seandainya pihak debitur tidak lalai.

 

Wanprestasi tersebut dapat dipilah-pilah menjadi sebagai berikut:

  1. Wanprestasi berupa tidak memenuhi prestasi.
  2. Wanprestasi berupa terlambat memenuhi prestasi.
  3. Wanprestasi berupa tidak sempurna memenuhi prestasi.

 

PAJAK BEA METERAI

penerapan-bea-materai-dalam-transaksi-

BEA METERAI

DASAR HUKUM:

  1. UU No 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai berlaku sejak 1 Januari 1986.
  2. PP No 7 tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan PP 24 tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai dan besar Batas Pengenaan Harga Nominal yang Dikenakan Bea Meterai.

PENGERTIAN :

Bea Meterai adalah pajak atas dokumen.

Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan, atau kenyataan bagi seseorang dan atau pihak-pihak yang berkepentingan.

Benda Meterai adalah Meterai tempel dan kertas Materai yang dikeluarkan oleh pemerintah Republik Indonesia.

PRINSIP UMUM PEMUNGUTAN ATAU PENGENAAN BEA MATERAI:

  1. Bea Materai dikenakan atas dokumen (merupakan Pajak atas dokumen).
  2. Satu dokumen hanya terutang satu Bea Materai .
  3. Rangkap/Tindasan yang ditandatangani terutang Bea Materai sama dengan aslinya.

TARIF BEA METERAI

  1. Rp.6.000.- dikenakan atas dokumen.
  2. Surat Perjanjian dan surat surat lainnya (antara lain: surat kuasa, surat hibah, dan surat pernyataan) yang dibuat dengan tujuan digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata.
  3. Akta-akta Notaris termasuk salinannya.
  4. Akta- akta yang dibuat Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) termasuk rangkap rangkapnya.
  5. Surat yang memuat jumlah yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah);
  • Yang menyebutkan penerimaan uang.
  • Yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening Bank.
  • Yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank.
  • Yang berisi bahwa pengakuan bahwa utang uang sebagian atau seluruhnya telah dilunasi atau diperhitungkan.
  1. surat-surat Berharga seperti: wesel, promes dan aksep yang harga nominalnya lebih dari Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah)
  2. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun sepanjang harga nominal nya lebih dari 1.000.000,00 (satu juta rupiah)
  3. Rp.3.000,- dikenakan atas dokumen.
  4. Surat yang memuat jumlah uang yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp. 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) tetapi tidak lebih dari Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah):
  • Yang menyebutkan penerimaan uang.
  • Yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening Bank.
  • Yang berisi pemberitahuan saldo Bank.
  • Yang berisi pengakuan bahwa utang uang sebagian atau seluruhnya telah dilunasi atau diperhitungkan.
  1. Surat-surat Berharga seperti: wesel, promes dan aksep yang harga nominalnya lebih dari Rp. 250.000 (dua ratus lima puluh ribu rupiah tetapi tidak lebih dari Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).
  2. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang harga nominalnya lebih dari Rp.                   250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) tetapi tidak lebih dari  Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).

d.Cek dan Bilyet Giro dengan harga nominal  berapapun.

PENANGGUNG BEA METERAI : Subyek Bea Meterai

  • Pihak atau para pihak penerima atau yang mendapatkan manfaat, kecuali pihak atau pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain
  • Dalam hal dokumen dibuat sepihak, misal kwitansi, Bea Meterai terutang oleh penerima kwitansi
  • Dalam hal dokumen dibuat oleh 2 (dua) pihak atau lebih, misal surat perjanjian dibawah tangan, maka masing-masing pihak terutang Bea Meterai

YANG TIDAK DIKENAKAN BEA METERAI

  1. Dokumen yang berupa, antara lain;
  2. Surat Penyimpanan barang
  3. Konosemen
  4. Surat Angkutan Penumpang dan Barang.
  5. Keterangan Pemindahan yang di tuliskan diatas dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf a,b,dan,c
  6. Bukti Pengiriman dan Penerimaan Barang.
  7. Surat Pengiriman Barang untuk dijual atas nama pengirim
  8. surat-surat lainnya yang dapat dipersamakan dengan tersebut diatas.
  9. segala bentuk Ijazah
  10. Tanda terima Gaji, uang tunggu, pensiun, Uang tunjangan, dan pembayaran lainnya yang ada kaitannya dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran itu.
  11. Tanda bukti penerimaan Uang Negara dari Kas Negara, Kas Pemerintah Daerah, dan Bank.
  12. Kuitansi untuk semua jenis Pajak dan penerimaan lainnya yang dapat disamakan dengan itu dari Kas Negara, Kas pemerintah Daerah, dan Bank.
  13. Tanda Penerimaan Uang yang dibuat untuk keperluan Interen Organisasi
  14. Dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada Penabung oleh Bank, Koperasi, dan Badan badan lainnya dibidang tersebut.
  15. Surat Gadai yang diberikan oleh Perum Pegadaian.
  16. Tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek, dengan nama dan dalam bentuk apapun.

 

SAAT TERUTANGNYA BEA METERAI

  1. Dokumen yang dibuat oleh satu pihak, adalah pada saat dokumen itu diserahkan dan diterima oleh pihak untuk siapa dokumen itu dibuat, jadi bukan pada saat ditandatangani. Misalnya; Kuitansi, Cek.
  2. Dokumen yang dibuat lebih dari satu pihak, adalah pada saat dokumen itu telah selesai dibuat, yang ditutup dengan pembubuhan Tanda Tangan dari yang bersangkutan, misalnya; Surat Perjanjian Jual Beli.
  3. Dokumen yang dibuat di luar negeri, adalah pada saat digunakan di Indonesia. Bea Meterai yang terutang pemetaraian kemudian.

PIHAK YANG TERUTANG BEA METERAI

Pihak yang terutang Bea Meterai adalah pihak yang mendapat manfaat dari dokumen, kecuali pihak atau pihak pihak yang bersangkutan menentukan lain.

CARA PELUNASAN BEA METERAI

  1. Dengan menggunakan benda meterai,yaitu:
  2. Meterai Tempel .
  3. Kertas Meterai.
  4. Dengan Cara lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

CARA PENGGUNAAN BENDA MATERAI

  1. Meterai Tempel.
  2. Kertas Meterai.

PEMETARAIAN KEMUDIAN

Pemetaraian kemudian adalah suatu cara pelunasan Bea Materai yang dilakukan oleh Pejabat Pos atas permintaan pemegang dokumen yang Bea Meterainya belum dilunasi sebagaimana mestinya.

Pemeteraian kemudian dilakukan atas ;

  1. Dokumen yang semula tidak terutang Bea Materai namun akan digunakan sebagai alat pembuktian di Muka Pengadilan.
  2. Dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dilunasi sebagaimana mestinya.
  3. dokumen yang dibuat diluar negeri yang akan digunakan di Indonesia.

 

SANKSI SANKSI

  1. Sanksi Administrasi sebesar 200% (dua ratus per sen) dari Bea Materai yang tidak atau kurang dibayar . Penanggungjawab Sanksi ialah pemegang dokumen
  2. Sanksi Pidana.

Penanggungjawab adalah sesuai dengan Putusan Pengadilan.

DALUARSA

Daluarsa dari kewajiban memenuhi Bea Materai ditetapkan 5 (lima)tahun, terhitung sejak tanggal dokumen dibuat .

UNDANG-UNDANG TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

  

 

4a

-UU No. 6 Tahun 1983, telah diubah dengan:

-UU No.9 Tahun 1994, telah diubah dengan;

– UU No. 16 Tahun 2000, telah diubah terakhir dengan ;

-UU No. 28 Tahun 2007.

Undang-undang KUP mengatur :

Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (KUP) diatur dalam :

  1. Ketentuan Umum
  2. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP), Surat Pemberitahuan (SPT) dan Tata Cara Pembayaran Pajak
  3. Penetapan dan Ketetapan Pajak
  4. Penagihan Pajak
  5. Keberatan dan Banding
  6. Pembukuan dan Pemeriksaan
  7. Ketentuan Khusus
  8. Ketentuan Pidana
  9. Penyidikan

10.Ketentuan Peralihan

11.Ketentuan Penutup

 

Subyek Pajak adalah orang atau badan yang memenuhi syarat melakukan kewajiban perpajakan.

  • Yang Menjadi Subyek Pajak adalah :
  1. Orang Pribadi
  2. Perorangan

b.Wanita kawin dengan yang tidak pisah harta

  1. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.
  2. Badan, meliputi perkumpulan orang / badan

             3.BUT ( bentuk usaha tetap)

 

* Subjek  Pajak terdiri dari Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subyek Pajak Luar Negeri.

1) Subyek Pajak dalam negeri :

         – Orang Pribadi bertempat tingggal di Indonesia > 183 hari, berniat tinggal di Indonesia

– Badan yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia

– Warisan yang belum terbagi

2) Subyek Pajak luar negeri

– Orang pribadi tidak bertempat tinggal atau berada di Indonesia < 183 hari dalam jangka                     waktu 12 bulan dan badan yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha  melalui BUT di Indonesia.

– Orang pribadi tidak bertempat tinggal atau berada di Indonesia < 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan dan badan yang tidak berkedudukan di Indonesia yang menerima dan memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.

Yang menjadi  Obyek Pajak adalah:

Setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari  luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajb Pajak yang bersangkutan , dengan nama dan dalam bentuk apapun.

Kapan Subyek Pajak itu menjadi Wajib Pajak? Yaitu mulai sejak memenuhi persyaratan subyektif dan obyektif.

Pengertian Wajib Pajak

Wajib Pajak adalah Orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (Pasal 1 ayat( 2)  UU KUP Nomor 28 Tahun 2007).

 

Hak dan Kewajiban Wajib Pajak

  1. Kewajiban Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subyektif dan obyektif adalah :
  2. Mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP dan NP PKP

Kewajiban Mendaftarkan diri dan melaporkan usaha

0 Semua Orang Pribadi yang penghasilannya diatas PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak)

0 Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) yang menjalankan usaha bebas

0 Wajib Pajak Badan (WP Badan)

0 WP OP yang menjadi pengusaha cabang-cabang  usahanya terdaftar di masing-masing Kantor Pelayanan Pajak (KPP)

0 Wanita kawin dengan pisah harta atau tidak pisah harta (UU No, 28 / 2007)

0 Pengusaha yang kena pajak berdasarkan UU PPN 1984

Tempat Pendaftaran Wajib Pajak dan pelaporan usaha (kena UU PPN)

0 Tempat tinggal

0 Tempat kedudukan

0 Tempat kegiatan usaha

Apabila tidak mendaftarkan diri dan atau tidak melaporkan usahanya ?

0 Direktur Jenderal Pajak menerbitkan NPWP dan atau NP PKP secara jabatan

0 Kewajiban perpajakannya sejak WP memenuhi persyaratan subyektif dan obyektif

Jangka waktu pendaftaran NPWP dan Pelaporan NPPKP

0  1 bulan saat usaha dimulai

0  Pada akhir tahun apabila penghasilan pada tahun yang bersangkutan melebihi PTKP

0  Untuk UU No. 28 Tahun 2007 diatur lebih lanjut dengan Peraturan  Menteri Keuangan

  1. Mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) dengan benar, lengkap, jelas dan menandatanganinya.

0 Tempat terdaftar / dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan DJP

0  Dalam bahasa Indonesia, dengan mata uang rupiah atau asing yang telah mendapatkan izin

0 Mengambil sendiri atau cara lain yang ditetapkan Per.MenKeu.

0  Jangka waktu 20 hari setelah masa pajak, paling lama 3 bulan setelah akhir tahun pajak ( untuk orang pribadi) dan 4 bulan setelah akhir tahun pajak ( untuk badan).

0  Jangka waktu dapat diperpanjang paling lama 2 bulan dengan melampirkan penghitungan sementara pajak yang terutang

0  Dilampiri laporan keuangan bagi WP yang diwajibkan menyelenggarakan pembukuan

0 Apabila tidak disampaikan dikenakan denda  Rp.500.000,- untuk SPT Masa PPN, Rp.100.000,- selain SPT Masa PPN dan RP.1.000.000,- untuk SPT Tahunan badan serta Rp.100.000,- untuk SPT Tahunan orang pribadi.

 

 

 Fungsi SPT adalah sarana

  • Melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah Pajak Penghasilan yang sebenarnya.
  • Melaporkan pembayaran pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain
  • – Melaporkan pembayaran dari pemotongan dan pemungut tentang pemotongan atau pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak lain.

3) Melakukan pencatatan atau pembukuan

0  Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan pekerjaan bebas

0 Wajib Pajak Badan

  1. Membayar dan menyetor pajak yang terutang

   0  Tempat pembayaran adalah bank persepsi  atau kantor pos

0 Menggunakan SSP

0  Paling lambat 15 hari setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak

0  Terlambat dikenakan sanksi 2 % .:

 

CARA PENGENAAN UTANG PAJAK.    

CARA PENGENAAN UTANG PAJAK.  

 UTANG PAJAK

  1. CARA PENGENAAN UTANG  PAJAK

 

Setelah mengetahui saat timbulnya utang pajak, perlu diketahui bagaimana cara pengenaan terhadap utang pajak. Menurut Teori, ada 3 (tiga) cara pengenaan pajak yang dapat dilakukan yaitu:

  • Cara pengenaan di depan ( stelsel fiksi);
  • Cara pengenaan di belakang ( stelsel riil);
  • Cara pengenaan campuran ( stelsel fiksi dan stelsel riil).

Ad. 1. Cara Pengenaan di Depan ( Stelsel fiksi).

Pengenaan di depan  merupakan suatu cara pengenaan pajak yang di dasarkan atas suatu anggapan ( fiksi) dan anggapan tersebut tergantung pada ketentuan bunyi undang-undang.

Contoh : Penghasilan seorang wajib pajak pada tahun berjalan sama dengan penghasilan tahun lalu tanpa memperhatikan kondisi  yang sesungguhnya atas besarnya penghasilan pada tahun berjalan yang seharusnya menjadi dasar penetapan beasrnya utang pajak dalam tahun berjalan.

Dengan adanya anggapan demikian, maka fiskus dapat dengan mudah menetapkan besarnya utang pajak untuk tahun yang akan datang. Contoh pemajakan yang di depan adalah PPh Pasal 25 UU PPh.

 

Ad.2. Cara Pengenaan di Belakang ( Stelsel riil).

Pengenaan di belakang merupakan suatu cara pengenaan pajak yang di dasarkan pada keadaan yang sesungguhnya (riil) atau nyata, yang diperoleh seorang Wajib Pajak baru  diketahui pada akhir tahun, maka pengenaan baru dilakukan setelah berakhirnya suatu tahun pajak. Dengan demikian, utang pajak baru akan dikenakan di belakang yaitu sesudah berakhir tahun pajak yang bersangkutan.

 

Ad.3. Cara Pengenaan Campuran.

Pengenan cara campuran merupakan suatu cara pengenaan pajak yang mendasarkan pada kedua cara pengenaan pajak diatas ( fiksi dan riil). Pada awal tahun pajak , fiskus mengenakan pajak berdasarkan anggapan yang ditentukan dalam undang-undang, yang selanjutnya setelah berakhirnya tahun pajak dilakukan pengenaan pajak berdasarkan keadaan yang sesungguhnya ( riil) . UU PPh. pada prinsipnya mendasarkan pengenaan dengan cara campuran ini.-

 

  1. PENAGIHAN PAJAK

 

Peran serta masyarakat Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban pembayaran pajak tentu sangat diharapkan sesuai dengan kerangka sistem self assessment yang dianut dalam undang-undang perpajakan sejak tahun 1983. Sistem self assessment telah memberikan kepercayaan penuh kepada masyarakat Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan pajaknya sendiri. Akan tetapi dalam w’alasan tidak melaksanakan kewajibannya membayar pajak sesuai ketetapan pajak yang diterbitkan. Tidak dilunasi utang pajak tentu saja menjadi beban administrasi tunggakan pajak. Oleh karenanya, untuk mencairkan tunggakan pajak dimaksud dilakukan tindakan penagihan pajak sesuai ketentuan yang berlaku.

 

Tindakan penagihan mi dilakukan berdasarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 ten tang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nornor 19 Tahun 2000. Undang-undang ini menjadi dasar hukum bagi fiskus untuk menagih utang pajak dari para Wajib Pajak yang tidak mau melunasi utang pajaknya. Tindakan penagihan berdasarkan undang-undang tersebut dilakukan baik secara persuasif maupun secara represil. Artinya, tindakan penagihan diawali dengan surat teguran, namun bila Wajib Pajak tidak mengindahkatuiya baru dilakukan tindakan secara paksa, dengan urutan tindakan penagihan seperti diuraikan di bawah ini.

Dasar Penagihan Pajak adalah :

  1. Surat Ketetapan Kurang Bayar Tambahan (SKBKB);
  2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT);
  3.  Surat Keputusan Pembetulan;
  4.  Surat Keputusan Keberatan dan;
  5.  Putusan Banding yang rnenyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar di tambah.

 

Setelah dalam jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterbitkannya surat ketetapan sebagaimana dimaksud di atas, Wajib Pajak tetap tidak melunasinya barulah dilakukan suatu tindakan penagihan aktif dengan nama:

 

  • Surat Teguran (ST) atau Surat Peringatan atau surat lain sejenis.

 

Penerbitan Surat Teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis merupakan tindakan awal dari pelaksanaan penagihan pajak dar pelaksanaannya harus dilakukan sebelum dilanjutkan dengan penerbitan Surai Paksa (SP).

Dalam permasalahan hukum perdata, penerbitan Surat Teguran bisa disamakan dengan istilah somasi, yaitu suatu surat yang bersifat memberi peringatan kepada pihak lain agar melakukan sesuatu yang diinginkan oleh pernberi somasi. Surat teguran ini lebih cenderung bersifat persuasif atau dengan kata lain kekuatan hukumnya lemah. Hal demikian adalah wajar karena kemungkinan besar Wajib Pajak tidak mengetahui kalau yang bersangkutan mernpunyai utang pajak.

Dasar Hukum Penagihan Pajak adalah:

– Undang-uridang Nomor 19 Tahun 1997sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000.

Ketentuan Pasal 8 ayat (1) huruf a menyatakan “Surat Paksa diterbitkan

apabila Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan kepadanya telah

diterbitkan Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis.

Sedangkan ayat (2)-nya menyatakan “Surat Teguran, Surat Peringatan atau `’surat lain yang sejenis diterbitkan apabila Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajaknya sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran.” Penulis berpendapat bahwa penerbitan Surat Teguran sebenarnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari penerbitan Surat Paksa. Dengan kata lain, Surat Paksa tidak bisa diterbitkan tanpa didahului dengan penerbitan Surat Teguran.

Selanjutnya, Pasal 8 ayat (1) huruf c, menyatakan Surat Paksa diterbitkan apabila Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam surat keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak. Pengertian ini dijelaskan bahwa dalam hal-hal tertentu, misalnya karena Penanggung Pajak mengalami kesulitan likuiditas, kepada Penanggung Pajak atas dasar permohonannya dapat diberikan persetujuan untuk mengangsur atau ‘menunda pembayaran pajak melalui keputusan pejabat. Dengan demikian, apabila kemudian Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan angSuran atau penundaan pembayaran ‘pajak, maka Surat Paksa dapat diterbitkan langsung tanpa Surat Teguran.

 

2 Surat Paksa.

Surat Paksa adalah surat perintah untuk membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.

Ada tiga hal yang menyebabkan diterbitkannya Surat Paksa (SP), yaitu:

 

  1. Apabila Penanggung Pajak (PP) tidak melunasi utang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo dan telah diterbitkan Surat Teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis;

b.Bahwa terhadap Penanggung Pajak telah dilakukan penagihan seketika dan sekaligus

Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan dalam keputusan persetujuan

 

Di dalam undang-undang penagihan pajak telah ditegaskan bahwa Surat Paksa yang diterbitkan oleh Pejabat (Pejabat adalah Kepala Kantor Pelayanan Pajak, Kepala Kantor Pelayanan Pajak dan Bangunan (KPP/KPPBB)) mempun kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal ini dapat dilihat dari Surat Paksa dengan adanya kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Kata-kata itu juga terdapat pada putusan pengadilan yang dikeluarkan oleh lembaga peradilan.

Mengingat Surat Paksa mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang tetap, maka pemberitahuan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak oleh Jurusita Pajak harus dilaksanakan dengan cara-membacakan isi Surat Paksa dan kedua belah pihak menandatangani Berita Acara Pelaksanaan Surat Paksa sebagai pernyataan bahwa Surat, Paksa telah diberitahukan.

Surat Paksa yang akan disampaikan kepada Penanggung Pajak

paling lambat setelah lampau waktu 21: (dua puluh satu) hari setelah. Surat Teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis diterbitkan. Apabila Surat Paksa diterbitkan kurang dari 21.(dua puluh satu) hari setelah. Surat Teguran diterbitkan, maka Surat Paksa menjadi batal demi hukum.

 

Tata Cara Penyampaian Surat Paksa

 

Surat .Paksa yang telah diterbitkan haruslah disampaikan oleh Jurusita Pajak yang selanjutnya Jurusita menyerahkan Salinan Surat Paksa kepada Wajak Pajak/Penanggung Pajak. Setelah Surat Paksa diberitahukan kepada Wajib Pajak barulah dibuatkan Berita Acara penyampaian Surat Paksa. Penjelasan Pasal 10 ayat (1) undang-undang menegaskan bahwa mengingat Surat Paksa adalah surat yang mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan grosse akta, yaitu •putusan pengadilan perdata yang mempunyai kekuatan hukum tetap, maka pemberitahuan kepada Penanggung Pajak oleh Jurusita pajak dilaksanakan dengan cara membacakan isi Surat Paksa dan kedua belah pihak menandatangani ‘Berita Acara Pelaksanaan Surat Paksa telah diberitahukan.

 

Pasal 10 ayat (3) undang-undang menegaskan bahwa.untuk menyampaikan Surat Paksa kepada orang pribadi, Jurusita Pajak harus menyerahkannya kepada:

 

Penanggung Pajak di tempat tinggal, tempat usaha atau tempat lain yang rnemungkinkan;

Orang dewasa yang bertempat tinggal bersama ataupun yang bekerja di tempat usaha Penanggung Pajak, apabila Penanggung Pajak yang bersangkutan tidak dapat dijumpai;

Salah seorang ahli waris atau pelaksana wasiat atau yang mengurus harta peninggalannya, apabila Wajib Pajak telah meninggal .dunia dan harta warisan belum dibagi; atau

Para ahli waris, apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan telah dibagi

.

Sedangkan Pasal 10 ayat (4) undang-undang menegaskan bahwa penyampaian Surat. Paksa untuk Wajib Pajak badan, harus disampaikan oleh Jurusita, Pajak kepada:

-Pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal, baik di tempat kedudukan badan yang bersangkutan, di tempat

tinggal mereka maupun di tempat lain yang memungkinkan; atau Pegawai tetap di tempat ,kedudukan atau tempat usaha badan yang bersangkutan apabila Jurusita Pajak tidak dapat menjumpai salah seorang sebagaimana dimaksud dalam huruf a.

Apabila Wajib Pajak sudah dinyatakan pailit, maka Surat Paksa harus disampaikan kepada Kurator, Hakim Pengawas atau Balai Harta Peninggalan. Bila Wajib Pajak dinyatakan bubar atau dalam likuidasi, Surat Paksa disampaikan kepada orang atau badan yang dibebani untuk ‘melakukan pemberesan atau likuidator. Selanjutnya apabila Wajib Pajak telah menunjuk, . seorang kuasa, maka Surat Paksa disampaikan kepada si penerima kuasa. Apabila Wajib Pajak atau Penanggung Pajak sudah tidak diketatini• lagi alamatnya Surat Paksa akan ditempel pada. papan pengumuman di kantor pajak yang menerbitkan Surat Paksa .Dan apabila PP tdk mau menerima  Surat Paksa maka Jurusita Pajak mencatatnya dalam Berita Acara bahwa Penanggung Pajak tidak mau menerima Surat Paksa. Dalam hal demikian, maka Surat Paksa dianggap telah diterima.. Pada prinsipnya Surat Paksa yang telah disampaikan secara resmi oleh Jurusita Pajak tidak boleh ditolak apabila dilihat dari si materilnya.

Wajib Pajak dapat menolak (verzet) Surat Paksa, bila diketahui ada hal-hal yang bersifat formal, sebagai berikut:

  1. a. Apabila Surat Paksa diberitahukan atau disampaikan oleh seorang petugas yang bukan Jurusita Pajak yang telah disumpah. Artinya, seorang jurusita yang akan menyampaikan Surat Paksa telah dibekali dengan surat tanda pengenal sebagai Jurusita. Wajib Pajak dapat minta agar Jurusita menunjukkan tanda pengenalnya scbagai Jurusita Pajak.
  2. Apabila Surat Paksa yang telah diterbitkan dikirim; melalui kantor pos Ini tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf b jo. Pasal 1 ayat (1), yang menegaskan Surat Paksa harus diberitahukan oleh Jurusii Pajak dengan pernyataan dan penyerahan Salinan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak.
  3. Apabila Surat Paksa tidak ditandatangani oleh pejabat yang berwenang Pejabat yang berwenang menerbitkan Surat Paksa adalah Kepala Kantor ( Pelayanan Pajak atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KPP/KPPBB).

Dalam hal terjadi yang demikian, Wajib Pajak dapat melakukan gugatan kepada badan Pengadilan Pajak.

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa Surat Paksa ditandatangani oleh kepala kantor pajak yang wilayah kerjanya terbatas sesuai kewenangan yang diberikan. Seandainya Wajib Pajak berada di wilayah kantor pajak lain ‘di Itu. wilayah kantor pajak yang menerbitkan Surat Paksa, maka kepala kantor pajak

yang menerbitkan Surat Paksa, dapat meminta bantuan kepada kepala kantor.        ,

pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat pelaksanaan Surat Paksa disampaikan salinan Surat Paksa dan informasi lain mengenai Wajib Pajak.

Namur demikian, menyimpang dari ketentuan tersebut apabila dalam suatu kota terdapat beberapa wilayah kerja pejabat, dan telah ada Keputusan Menteri maka Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Jakarta Utara dapat langsung memerintahkan Jurusitanya untuk melaksanakan Surat Paksa di tempat Penanggung Pajak di Pasar Minggu Jakarta Selatan, tanpa harus meminta bantuan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Jakarta Selatan.

 

3.PENYITAAN

 

Penyitaan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh Jurusita Pajak untuk menguasai barang Penanggung Pajak guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Penyitaan merupakan tindakan penagihan lebih lanjut setelah Surat Paksa yang hanya dapat dilakukan setelah batas waktu 2 x 24 jam sebagaimana dirnaksud dalam Surat Paksa dilewati. Artinya, apabila Penanggung Pajak/Wajib Pajak tetap tidak melunasi utang pajak sebagaimana yang tercantum dalam  Surat Paksa, barulah penyitaan dapat dilaksanakan.

 

Pada prinsipnya tujuan penyitaan adalah untuk memperoleh jaminan pelunasan utang pajak dari Penanggung Pajak. Oleh karenanya, penyitaan dapat dilaksanakan terhadap barang milik Penanggung Pajak yang berada di terripat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan, atau tempat lain termasukyang penguasaannya berada di tangan pihak lain atau yang dijaminkan sebagaipelunasan utang tertentu.

 

Penyitaan tersebut dapat dilakukan baik terhadap barang bergerak maupun barang tidak bergerak. Termasuk penyitaan terhadap barang bergerak adalah mobil, perhiasan, uang tunai, dan deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, obligasi, saham, atau surat berharga lainnya, piutang, dan penyertaan modal pada perusahaan

Sedangkan yang termasuk barang tidak bergerak adalah tanah, bangunan, dan kapal dengan isi kotor tertentu. Khusus untuk penyitaan atas barang tidak bergerak berupa kapal yang bobotnya 20 M3 (dua puluh meter kubik) atau lebih harus didaftarkan di Direktorat Jenderal Perhubungan Laut dengan cara menyampaikan salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita.

 

Tata Cara Penyitaan

 

Sekalipun penyitaan dapat dilakukan terhadap barang tidak bergerak, namun pada dasarnya penyitaan haruslah dilakukan dengan mendahulukan pada barang bergerak. Tetapi apabila Jurusita Pajak tidak menjurnpai barang bergera yang dapat dijadikan objek sita atau barang bergerak yang dijurnpai tida mempunyai nilai atau harga yang tidak memadai, penyitaan dapat dilakuka terhadap barang tidak bergerak.

Lalu pertanyaannya, bagairnana seandainya barang yang akan disita berada di luar wilayah kerja pejabat kantor pajak yang menerbitkan Surat Paksa, siapa yang akan melaksanakan penyitaan? Untuk hal demikian, Pasal 20 Undang- undang Penagihan rnenegaskan bahwa dalam hal objek sita berada di luas wilayah kerja pejabat yang menerbitkan Surat Paksa, pejabat harus meminta bantuan kepada kepala kantor pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat objek sita berada untuk menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan terhadap objek sita dimaksud.Sedangkan untuk objek sita yang letaknya berjauhan dengan tempat kedudukan pejabat tetapi masih dalam wilayah kerjanya, kepala kantor pajak dimaksud dapat meminta bantuan kepada kepala kantor pajak yang wilayah kerjanya juga meliputi tempat objek sita berada untuk menerbitkan Sural Perintah Melaksanakan Penyitaan. Misalnya Kepala Kantor Pelayanan Pajak Perusahaan Negara dan Daerah di Jakarta yang wilayah kerjanya di seluruh Indonesia akan melakukan penyitaan atas objek sita yang berada di Balikpapan dapat meminta bantuan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Balikpapan di Balikpapan. Setelah dilakukan penyitaan; Kepala Kantor Pelayanan Pajak Balikpapan akan inemberitahukan pelaksanaannya dengan mengirimkan Berit Acara Pelaksanaan Sita.

 

Ada enam jenis barang yang dikecualikan dari penyitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan  UU Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa yaitu:

 

  1. Pakaian dan ternpat tidur beserta perlengkapannya.
  2. Perlengkapan Penanggung Pajak yang bersifat dinas;
  3. Buku-buku yang berkaitan dengan jabatan atau pekerjaan Penanggung Pajak;
  4. Alat-alat yang dipergunakan untuk pendidikan, kebudayaan, dan keilmuan;
  5. Peralatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan untuk melaksanakan pekerjaan atau usaha sehari-hari dengan jumlah, seluruhnya tidak lebih dari Rp 20.000.000 (dua puluh juta rupiah);
  6. Peralatan penyandang cacat yang digunakan oleh Penanggung. Pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya.

 

Pada prinsipnya penyitaan dalam hukum pajak tidak mengubah status ‘kepemilikan atas suatu barang, bahkan barang yang telah disita dititipkan kepada Penanggung Pajak atau dapat disimpan di tempat lain. Pemilik barang pada dasarnya masih tetap dapat mempergunakan barang yang telah disita sepanjang atas barang yang telah, disita tersebut tidak dialihkan hukumnya kepada pihak lain atau merusak barang, atau menghilangkan barang, yang merupakan tindakan pidana sesuai Pasal 23.1 KUH Pidana.

Adakalanya penyitaan yang dilakukan terhadap suatu badan usaha tidak dapat dilaksanakan, misalnya karena barang perusahaan yang disita tidak mencukupi atau tidak dapat ditemukan. Dalam hal demikian, maka penyitaan dapat dilakukan terhadap barang milik pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal atau ketua suatu yayasan, baik ditempat kedudukan yang bersangku tan, ditempat tinggal mereka maupun ‘di tempat lain. Oleh karena mereka merupakan Penanggung Pajak yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak atau mempunyai kewajiban untuk melunasi utang pajak perusahaan. Pasal 1 butir 3 undang-undang penagihan `dengan tegas menyebutkan pengertian dari Penanggung Pajak, yaitu orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hale dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan perundang-undangan perpajakan.

Dalam melaksanakan penyitaan, sering kali juga terjadi persinggungan dalam pelaksanaan di lapangan terkait dengan penyitaan yang juga dilakukan oleh instansi lain seperti pihak Pengadilan Negeri atau pihak Panitia Urusan Piutang Negara. Apabila pihak lain telah melakukan penyitaan, maka Jurusita Pajak hanya menyampaikan Surat Paksa kepada instansi yang bersangkutan dan tidak melakukan penyitaan lagi.

 

Untuk tidak menimbulkan salah pemahaman, perlu dibedakan pengertian tumpang tindih penyitaan dengan penyitaan tambahan.Bila terhadap suat barang sudah dilakukan penyitaan oleh salah sate instansi yang berwenang maka terhadap barang tersebut tidak dibolehkan lagi dilakukan penyitaan. Artinya, apabila suatu barang sudah disita, lalu disita lagi oleh instansi yang berbeda, berarti terjadi tumpang tindih penyitaan. Sedangkan dalam penyitaan tambahan (Pasal 21), Jurusita Pajak tetap dapat melakukan penyitaan. apabila terjadi hal-hal berikut:

 

  1. Nilai barang yang disita nilainya tidak cukup untuk melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak; atau • ,
  2. Hasil dari lelang barang, yang telah; disita tidak cukup untuk melunasi utang pajak dan biaya,penagihan pajak.

 

Terhadap barang yang sudah disita, Penanggung Pajak dilarang untuk melakukan hal-hal berikut:

a.Memindahkan hak, memindahtangankan, menyewakan, meminjamkan menyembunyikan, menghilangkan, atau merusak barang yang telah disita;

  1. Membebani barang tidak bergerak yangtelah disita dengan hak tanggungar untukpelunasan. utang tertentu;
  2. Membebani .barang bergerak ,yang telah disita dengan, fidusia atau, diagunkan, untuk pelunasan utang tertentu; dan/atau •
  3. Merusak, mencabut atau ,menghilangkan segel sita atau salinan , Berita AcaraPelaksanaan Sita,yang telah ditempelpada barang sitaan.

 

Wajib Pajak Yang melanggar ketentuan di atas bisa dikenakan sanksi pidana sesuai ketentuan Pasal 231, 372, dan 375 KUH Pidana. Untuk jelasnya, ketiga pasal tersebut dikutip sebagai berikut:

Pasal 231 ayat (1) KUHP menegaskan bahwa,barangsiapa dengan sengaja menarik suatu barang yang disita menurut ketentuan undangTundang atau yang dititipkan (sequestratie) atas perintah hakim; atau dengan mengetahui, bahwa barang ditarik dari situ, menyembunyikan,. dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”

Pasal 372 KUHP menegaskan bahwa, “Barangsiapa, dengan sengaja dan melawan hukum rnengaku sebagai,milik seridiri, (aich toceieenen) barang sesuatu

dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah.”

Selanjutnya Pasal 375 KUHP menegaskan bahwa “Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang karena terpaksa diberi barang untuk disimpan, atau yang dilakukan oleh wali, pengampu, pengurus atau pelaksana surat wasiat, pengurus lembaga sosial atau yayasan, terhadap sesuatu barang yang dikuasainya selaku, demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.”

 

Terhadap barang yang sudah disita, dapat dicabut apabila terjadi‘salah satu dari tiga hal seperti di bawah ini:

  1. Penanggung ‘Pajak telah melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak;

b.. Ada putusan pengadilan atau ada putusan badan peradilan pajak; atau

  1. Ada ketentuan lain yang diatur, dalam Keputusan Menteri Keuangan atau Keputusan Kepala Daerah. Misalnya adanya objek sita terbakar, objek sita hilang atau objek sita, musnah.

Putusan pengadilan adalah putusan hakirn dari peradilan umum, misalnya putusan atas sanggahan pihak ketiga terhadap kepemilikan barang yang disita, sedangkan putusan badan peradilan pajak, misalnya putusan atas gugatan Penanggung Pajak terhadap pelaksanaan sita.

Perlu diketahui bahwa apabila telah dilakukan penyitaan terhadap barang yang kepemilikannya telah terdaftar, maka tindasan Surat Pencabutan Sita disampaikan kepada instansi tempat barang tersebut terdaftar. Misalnya, penyitaan atas tanah dan bangunan, tindasan Surat Pencabutan Sita disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan Nasional yang wilayahnya meliputi tempat tanah dan bangunan tersebut berada

.

PELELANGAN

 

Lelang adalah setiap penjualan barang di muka umum yang dipimpin oleh Pejabat Lelang dengan cara penawaran harga secara terbuka/lisan dan/atau tertutup/tertulis yang didahului dengan pengurruman lelang.

Pelelangan merupakan tindakan hukum penagihan berikutnya untuk melunasi utang pajak Wajib Pajak/Penanggung Pajak

 

 Dasar hukum.

 

Dasar hukum pelaksanaan lelang saat ini diatur dalam Vendu Reglement ( Peraturan Lelang, Stbl. 1908-1198) dan Vendu Instructie ( Instruksi Lelang, Stbl, 1908-198).

Lelang dalam hal sita pajak merupakan salah satu bagian dari berbagai jenis lelang untuk melaksanakan eksekusi atas barang-barang milik Penanggung Pajak dalam rangka penagihan piutang pajak. Sesuai aturan yang telah ditentukan, pelaksanaan penjualan secara lelang terhadap barang yang telah disita dilakukan sekurang-kurangnya 14 (empat belas) hari setelah pengumuman lelang. Pengumuman lelang itu sendiri dilakukan dalam waktu sekurang-kurangnya 14 (empat belas) hari setelah pelaksanaan penyitaan.

Pengumuman lelang tersebut mempunyai tujuan dalam rangka memberikan perlindungan kepada pihak ketiga yang berkepentingan dan juga dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada Penanggung Pajak untuk melunasi utang pajaknya sebelum lelang dilaksanakan dan sekaligus memberi perlindungan hukum kepada pembeli atas objek barang yang dilelang dari kemungkinan adanya gugatan dari pihak-pihak lain di kemudian hari.

Pelaksanaan lelang dalam rangka eksekusi pajak merupakan upaya hukum terakhir dalam rangka mencairkan tunggakan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 25 Undang-undang Penagihan Pajak. Pasal. 25 ayat (1) menyatakan “apabila utang pajak dan/atau biaya penagihan pajak tidak dilunasi setelah dilaksanakan penyitaan, Pejabat berwenang melaksanakan penjualan secara lelang terhadap barang yang disita melalui Kantor Lelang.”

Dipilihnya lelang sebagai sarana penjualan barang tentunya didasari oleh adanya kebaikan-kebaikan yang dapat diperoleh dari proses lelang tersebut, antara lain sifat penjualannya yang transparan/terbuka, cepat, aman,’ efisien dengan mekanisme harga yang kompetitif dan dapat dipertanggungjawabkan. Sarana lelang yang digunakan dalam rangka tindakan penagihan pajak tidak lain merupakan upaya terakhir apabila Wajib Pajak tetap tidak rnelunasi, utang pajaknya. Dengan adanya praktik lelang menunjukkan adanya fungsi publik dari lelang tersebut dalam rangka penegakan hukum yang lebih mencerminkan keadilan dan kepastian hukum.

Sebelum pelaksanaan lelang, Pejabat pernohon lelang bersama-sama dengan Pejabat Lelang:akan memberikan penjelasan lelang (aanwijzing).

Narnun demikian, tidak semua objek yang telah disita oleh Jurusita pajak dapat dilakukan lelang.

Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 136 Tahun 2000 dengan tegas menyebutkan adanya objek sita yang dikecualikan dari lelang, yaitu berupa:

  1. uang tunai;

b: surat-surat berharga berupa deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, obligasi, saham, atau surat berharga lainnya, piutang dan penyertaan modal pada pemisahaan lain;

  1. barang yang mudah rusak atau cepat busuk

 

Oleh karena atas barang-barang tersebut di atas tidak dilakukan pelelangan, maka tindakan penagihan yang dilakukan adalah dengan cara sebagai berikut: bila uang tunai; akan disetor ke Kas Negara. Atas deposito, tabungan, saldo rekening koran, akan dipindahbukukan ke Kas Negara. Atas obligasi, saham, atau surat berharga lainnya akan dijual di bursa efek. Atas piutang, akan dialihkan hak menagihnya, dan atas penyertaan modal akan dibuatkan akta persetujuan pengalihan hak menjual dari Wajib Pajak kepada Pejabat (Kepala Kantor Pelayanan Pajak/Kepala Kantor Pelayanan pajak Bumi dan Bangunan (KPP/KPPBB).

Lelang eksekusi pajak yang penyelenggaraannya dilakukan melalui Kantor Lelang Negara (KLN), mempunyai nilai kekhususan lain, yaitu bahwa tindakan lelang tetap dapat dilaksanakan meskipun tidak ada dokumen-dokumen bukti kepemilikan sepanjang dalam Berita Acara Pelaksanaan Sita disebutkan bahwa dokumen tidak dapat disita dan adanya pernyataan tertulis dari Pejabat selaku pemohon lelang bahwa memang dokumennya tidak dapat disita. Namun demikian, khusus untuk lelang dengan objek berupa tanah dan/atau bangunan, meskipun tidak ada dokumennya, tetap harus ada dokumen lain berupa Surat Keterangan Tanah (SKT) yang dapat diperoleh dari instansi yang berwenang (Surat Edaran Bersama Direktur Jenderal Pajak dan Kepala Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara Nomor SE-214/PJ/1999; SE-17/PN/1999 tanggal 25 Agustus 1999).

Persoalan hukum yang mungkin agak pelik yang mungkin terjadi adalah apabila suatu permasalahan belum mempunyai kekuatai hukum yang tetap, tidaklah boleh dilakukan eksekusi. Begitu pun ketentuai Pasal 40 ayat (1) yang menyebutkan bahwa apabila setelah pelaksanaa, lelang Wajib Pajak memperoleh keputusan .keberatan atau putusan banding yang mengakibatkan utang pajak menjadi berkurang sehingga menimbulkan kelebihan pembayaran pajak, Wajib Pajak tidak dapat meminta atau tidak berhak menuntut pengembalian barang yang telah dilelang. Untuk kepastian hukum bagi pembeli tentu saja hal itu baik, tetapi bagi pemilik barang ada persoalan lain.

Persoalan yang timbul adalah bila proses lelang telah dilaksanakan, ternyata upaya hukum keberatan yang diajukan memenangkan Wajib Pajak, tentu saja atas barang yang sama yang telah dilelang tidak dapat dikembalikan. Yang bisa dikembalikan hanyalah berupa uang dengan nilai yang sama atas barang yang dilelang, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 40 ayat (2). Bagi Wajib Pajak bisa saja nilai berupa uang tidak bisa persis disamakan dengan barang yang, telah dilelang. Mungkin saja Wajib Pajak saja merasa lebih penting memiliki. barang yang dilelang daripada nilai uang walaupun nilainya sama, tetapi dari sisi nilai ,immaterial kepemilikan barang tentu berbeda.

Setelah lelang dilaksanakan, secara hukum hak Penanggung Pajak atas barang yang dilelang berpindah kepada pembeli dan kepada pembeli diberikan dokumen Risalah Lelang yang memuat keterangan tentang barang sitaan telah terjual., Risalah Lelang ini merupakan bukti otentik sebagai dasar  pendaftaran dan pengalihan hak, yang akan memberikan perlindungan hukum terhadap hak pembeli lelang

.

HAK MENDAHULU PAJAK

 

Istilah lain dari Hak Mendahulu dalam hukum sering disebut dengan Hak Istirnewa atau Hak Preferen. Menurut Pasal 1134 Kitab Undang-undang Hukurn Perdata (KUHPerdata) yang dimaksud dengan hak istimewa adalah suatu ‘hak,yang oleh undang-jundang diberikan kepada seseorang berpiutang sehingga tingkatannya lebih tinggi daripada orang berpiutang lainnya,.semata-, mata berdasarkan sifat piutangnya. Gadai dan Hipotek adalah lebih tinggi daripada hak istirnewa, kecuali dalam hal-hal di mana oleh,undang-undang ditentukan sebaliknya.

 

Menurut hukum perdata, seseorang dapat dikatakan mempunyai utang bila telah terjadi perikatan di antara para pihak: Perikatan tersebut bisa terjadi ,karena undang-undang,atau karena perjanjian. Perikatan yang timbul karena ,undang-undang dapat timbul karena undang-undang saja atau karena undang-undang dengan perbuatan manusia. Sedangkan menurut hukum pajak, utang pajak yang timbul karena undang,undang saja; berarti haruslah terlebih dahulu ada undang-undang yang imenjadi dasar hukum pemungutan pajak. Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 (tentang PPh), Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 (tentangPPN dan PPnBM), Undang-undang,Nomor 12 Tahun 1994 (tentang PBB) dan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 (tentang BPHTBiBea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan), maka sejak saat itu timbul utang pajak,dari tiap subjek hukum pajak yang rnemenuhi syarat sebagai Wajib Pajak.

Nam undang-undang pajak, hak mendahulu pajak diatur dalam ,Pasal 21 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nornor9 Tahun 1994 (Undang-undang KUP) yang berbunyi  sebagai berikut:

 

Ayat(1): Negara mempunyai hak mendahulu untuk tagihan pajak atas barang-barang milik Penanggung Pajak.

Ayat (2): Ketentuan tentang hak mendahulu sebagaimana dimaksud pada ayat ,(1), meliputi pokok pajak, bunga, denda administrasi, kenaikan, dan biaya penagihan.

Ayat (3):

Hak mendahulu untuk tagihan pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap:

  1. Biaya perkara yang semata-mata disebabkan suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak maupun tidak bergerak;
  2. Biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan suatu barang;
  3. Biaya perkara, yang semata-mata disebabkan pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.

Ayat (4) : Hak mendahulu itu hilang setelah lampau 2 (dua) tahun sejak tanggal diterbitkan Surat Tagihan Pajak, SKPKB,SKPKBT dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, kecuali:apabila dalam jangka waktu dua tahun tersebui, Surat Paksa untuk membayar itu diberitahukan secara resmi, atau diberikan penundaan pembayaran.

Ayat (5): Dalam hal Surat Paksa untuk membayar diberitahukan secara resmi, , jangka waktu dua tahun sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), dihitung sejak tanggal pemberitahuan Surat Paksa, atau dalam hal. diberikan penundaan pembayaran jangka waktu dua tahun tersebut ditambah dengan jangka waktu penundaan pembayaran.

 

Dari penjelasan pasal di atas menyebutkan bahwa negara mempunyai kedudukan preferen atas barang-barang milik Penanggung Pajak yang akan dilelang di muka umum. Maksudnya adalah memberi kesempatan kepada negara (dalam hal ini Direktur Jenderal Pajak) untuk mendapatkan pembagian lebih dahulu dari kreditor lain atas hasil pelelangan barang milik Penanggung Pajak. Setelah utang pajak dilunasi barulah diselesaikan pernbayaran kepada kreditor lainnya.

Rupanya hak preferen ini juga mempunyai pengecualian, artinya pembayaran (pelunasan) terhadap utang pajak masih kalah kuat atau dapat dihindari jika ada hak preferen lain yang juga harus didahulukan pelunasannya, yaitu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a, b, dan c di atas. Adanya pengecualian ini menimbulkan masalah mengapa hak mendahulu dari pajak harus memberikan kesempatan kepada hak preferen kreditor-kreditor lain dan bukan pelunasan atas utang ,pajak yang terlebih dahulu harus diutamakan, padahal undang-undang pajak merupakan ketentuan yang bersifat khusus dibandingkan dengan .undang-undang hukum perdata yang bersifat umum, sehingga asas hukum lex specialis derogat lex generalis dapat diberlakukan.

Jika permasalahan ini yang timbul, dapat dikemukakan bahwa terhadap asas hukum di atas bukan berarti tidak berlaku, tetapi justru asas tersebut berlaku karena secara jelas telah dituangkan dalam undang-undang pajak, yaitu hendak menekankan bahwa terhadap permasalahan yang sama pengaturannya ada pada yang umum dan khusus, maka khususlah yang berlaku. Alasan lain yang dapat dikemukakan bahwa biaya perkara dan biaya eksekusi merupakan tindakan untuk menyelamatkan harta kekayaan tidak bisa dilakukan oleh pihak pengadilan dan kejaksaan, maka bagaimana mungkin Wajib Pajak dapat melunasi utang pajaknya sedangkan harta kekayaan Wajib Pajak.’itu sendiri tidak berada di tangan kekuasaan Wajib Pajak.

 

PENAGIHAN SEKETIKA DAN SEKALI GUS.

 

Dalam melaksanakan tindakan penagihan pajak tidak selalu didahului dengan pelaksanaan Surat Paksa tetapi dapat juga langsung dengan melakukan tindakan berupa penerbitan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus tanpa perlu menunggujatuh tempo pembayaran. Ada dua kata yang penting dipahami yaitu kata “seketika” dan kata “sekaligus”.Penagihan seketika dilakukan segera tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran. Sedangkan penagihan sekaligus adalah penagihan yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis .pajak dan tahun pajak.

Cara penerbitan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, secara tegas disebutkan dalam Pasal 8 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 561/ KMK.04/2000 yaitu diterbitkan dalam hal:

  1. Sebelum tanggal jatuh ternpo,pembayaran;
  2. Tanpa didahului dengan adanya Surat Teguran;
  3. Sebelum jangka waktu 21 (dua rpuluh situ). hari sejak Surat Teguran diterbitkan;,atau

d Sebelum penerbitan Surat Paksa.

Dilanggarnya ketentuan formal yang umum seperti adanya Surat Teguran dan ketentuan jangka waktu penagihan yang bersifat umum, dapat dimengerti karena adanya kondisi yang mengharuskan kantor pajak melakukan tindakan penagihan yang bersifat cepat. Jika tidak demikian, tentunya kantor pajak akan kehilangan kesempatan untuk mencairkan tunggakan pajak dari Wajib Pajak yang beritikad tidak baik

Adanya tindakan penagihan seketika dan sekaligus ini tidak • lain dimaksudkan agar Wajib Pajak tetap harus mendahului kepentingan negara untuk melunasi utang pajak sebelum kepentingan-kepentingan lain diselesaikan. Hal ini tentu berkaitan dengan hak mendahulu sebagaimana diuraikan dalam Bab 5.

 

Pasal 20 Undang-undang KUP menegaskan bahwa tindakan penagihan seketika dan sekaligus dapat dilakukan bila salah satu dari hal-hal berikut diketahui, yaitu:

a.Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau beniat untuk itu;

b.Penanggung Pajak menghentikan atau secara nyata mengecilkan kegiatan

  1. c. Pembubaran badan atau niat untuk membubarkannya, pernyataan pailit, begitu pula dalam hal terjadi penyitaan atas barang bergerak atau barang tidak bergerak milik Penanggung Pajak.

Sebagaimana telah disebutkan di atas apabila Penanggung Pajak akan rneninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau mempunyai niat untuk itu, maka Penanggung Pajak harus melunasi utang pajaknya terlebih dahulu. Untuk itu, sesuai Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, upaya hukum yang dapat dilakukan untuk itu adalah dengan cara mencegah Penanggung Pajak yang bersangkutan berangkat ke luar negeri. Usulan pencegahan demikian hanya dapat dilakukan oleh Menteri Keuangan kepada Menteri Kehakiman sepanjang menyangkut urusan piutang negara.

Piutang negara menurut penjelasan Pasal 11 Undang-undang Keimigrasian di atas adalah tagihan terhadap seseorang atau badan hukum yang timbul dari perjanjian keperdataan dengan instansi pemerintah. Menurut penulis utang pajak bukanlah termasuk piutang negara yang timbul dari perjanjian keperdataan. Utang pajak timbul karena adanya undang-undang pajak, sifatnya bukan karma perjanjian keperdataan. Oleh karena itu, penjelasan Pasal 11 Undang-undang Keimigrasian di atas sebaiknya ditambah dengan kata-kata “atau yang. timbul berdasarkan undang-undang.”

 

PENCEGAHAN, PENYANDERAAN DAN GUGATAN.

 

Pencegahan.

Pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap Penanggung, Pajak tertentu untuk keluar dari wilayah negara Republik Indonesia berdasarkan alasan tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Khusus untuk masalah perpajakan, maka pencegahan hanya dapat dilakukan terhadap. Penanggung Pajak yang memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu:

  1. Syarat kuantitatif, yaitu apabila Penanggung Pajak mempunyai utang pajak sekurang-kurangnya Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah); dan
  2. Syarat kualitatif, yaitu syarat mengenai diragukannya itikad baik Penanggung Pajak yang bersangkutan dalam melunasi titang pajaknya

masalah hak asasi seseorang untuk bepergian ke luar negeri. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya harus berdasarkan pada Keputusan Men teri Keuangan, sesuai aturan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian.

Sekalipun Penanggung ‘Pajak telah dilakukan pencegahan, tidaklah berarti utang pajaknya menjadi hapus. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 31 Undang¬undang Penagihan,, bahwa pencegahan terhadap Penanggung Pajak tidal( mengakibatkan hapusnya utang pajak dan terhentinya pelaksanaan penagihan pajak.

Masalah pencegahan ternyata juga berkaitan dengan masalah penagihan seketika dan sekaligus. Untuk itu lihat kembali uraian mengenai penagihan seketika dan sekaligus, khususnya mengenai upaya hukum yang dilakukan berkaitan dengan Wajib Pajak yang akan meninggalkan Indonesia untuk selamanya.

Permasalahan kepastian hukum atas lamanya pencegahan timbul dalam Pasal 30 ayat (3) Undang-undang Penagihan. Ketentuan tersebut menyebutkan bahwa jangka waktu pencegahan ditentukan paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang untuk selama-lamanya 6 (enam) bulan. Dengan kata lain, pencegahan hanya dibatasi paling lama 1 (satu) tahun. Undang-undang tampaknya tidak menegaskan bagaimana aspek hukum seandainya pencegahan terhadap Penanggung Pajak telah lewat 1 (saw) tahun.

Apabila pencegahan telah lewat satu tahun, seharusnya secara hukum; pencegahan dengan senclirinya tidak ada lagi. Dengan kata lain, Penanggung Pajak dapat pergi ke luar negeri sekalipun masih ada utang pajak. Penulis berpendapat sebaiknya lamanya waktu pencegahan tidak perlu diatur. Sepanjang Wajib Pajak belum melunasi utang pajaknya, tetap tidak diperbolehkan pergi keluar negeri.

Persoalan hukum lainnya adalah berkaitan dengan Pasal 30 ayat (5) yang menyebutkan bahwa pencegahan dapat dilaksanakan terhadap beberapa orang sebagai Penanggung Pajak Wajib Pajak badan atau ahli waris. Ketentuan ini rnenurut penulis adalah baik, namun seakan menjadi tidak mempunyai kepastian hukum, karena tidak melihat pada suatu kondisi tanggung jawab dalam suatu perusahaan. Undang-undang Perseroan Terbatas Nomor 1 Tahun 1995 (UUPT) menegaskan bahwa yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan suatu perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan adalah Direksi (Pasal 82 UUPT). Sedangkan Komisaris adalah perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus serta memberikan nasihat kepada Direksi dalam menjalankan:perseroan (Pasal 97 UUPT).

Suatu kasus terjadi di mana seorang Penanggung Pajak (Komisaris Perusahaan) mengalami sakit dan harus berobat ke luar negeri. Oleh karena yang bersangkutan dilakukan pencegahan maka tidak bisa berangkat ke luar negeri. Kenyataannya, Pencegahan telah dilakukan juga terhadap Direksi perusahaan. Persoalan hukum timbul di mana perusahaan telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dan kantor pajak sudah melakukan klarifikasi untuk mendapatkan pelunasan melalui hak mendahulu atas utang pajak perusahaan. Terhadap kasus yang demikian, menimbulkan pertanyaan apa efek hukumnya pencegahan dilakukan terhadap Komisaris kalau dalam kenyataannya toh tetap saja pelunasan utang pajaknya bisa dilakukan terhadap harta pailit. Bahkan melihat pada ketentuan UUPT, secara umum yang bertanggung jawab adalah Direksi perusahaan, bukan unsur komisaris.

Hal lain yang menyebabkan tidak efektifnya penggunaan lembaga pencegahan adalah seandainya para Penanggung Pajak tidak pernah berangkat keluar negeri. Sekalipun semua Komisaris maupun Direksi .dilakukan pencegahan, tidak ada pengaruh hukuin yang terjadi atas pelunasan utang pajak karena mereka tidak pernah pergi keluar negeri. poicok inilah yang perlu mendapat perhatian untuk perubahan undang-undang dikemudian hari.

 

PENYANDERAAN.

 

Penyanderaan adalah pengekangan untuk sementara waktu kebebasan Penanggung Pajak dengan menempatkannya di tempat tettentu. Sama ‘halnya dengan pencegahan, penyanderaan .ju’ga hanya dapat dilakukan terhadap. Penanggung Pajak bila memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu:

  1. Syarat kuantitatif, yaitu apabila Penanggung Pajak mempunyai utang pajak’ sekurang-kurangnya Rp 100:000.000 (seratus juta’rupiah);. dan
  2. Syarat kualitatif, yaitu syarat mengenai diragukannya itikad baik Penanggung Pajak yang bersangkutan dalam melunasi utang pajaknya. Misalnya, Penanggung Pajak menyembunyikan harta ‘kekayaannya sehingga tidak• cukup harta yang dapat dijadikan jaminan pelunasan utang Pajak dan biaya penagihan pajak.

sangat selektif dan hati=hati dan merupakan upaya hukum terakhir dalam rangka penagihanpajak..Mehhat pentingnya lembaga ini tetap dipertahankan, tampak dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 137 Tahun 2000 tentang Tempat dan Tata. Cara Penyanderaari, Rehabilitasi Nama Bank Penanggung Pajak dan Pemberian GantiRugi dalam Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Secara psikologis, dengan tetap ‘dipertahankannya lembaga penyanderaan ini tidak lain dimaksudkan untuk inembuat Penanggung Pajak menjadi; malu jika karena tidak membayar pajak,kemudian harus disandera.

Pada awalnya, masalah penyanderaan diatur dalam Pasal 209 sampai dengan Pasal 214 Reglemen Indonesia yang Diperbarui (RIB/HIR) serta Pasal 242 sampai dengan Pasal 258 Reglemen Hukum Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (RBg) sebagai satu lembaga yang timbul dalam hubungan hokum perdata atau hubungan antara kreditor dengan debitor di mana debitor yang tidak dapat melunasi utangnya untuk membayar sejumlali uang kepada kreditor, dapat disandera melalui suatu proses gugatan Ice Pengadilan Negeri yang dilakukan oleh kreditor.

Pasal 209 HIR pada intinya menyebutkan bahwa `jika tidak ada atau tidal cukup barang untuk menjalankan putusan seorang berkewajiban dapat ‘disandera.’ Di sini jelas bahwa sandera (paksa badan) termasuk lingkup hukum eksekusi yang hanya dapat dijalankan setelah ada putusan pengadilan dalam pokok perkara perdata. Ketentuan tersebut’ ternyata tidak pernati’dapat dilaksanakan ka rena adanya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 1964 dan SEMA Nomor 4 Tahun 1975 yang memerintahkan kepada para Ketua Pengadilan dan Hakim untuk tidak mempergunakan lagi peraturan sandera yang diatur dalam HIR atau RBg dengan alasaadianggap bertentangan dengan perikemanusiaan. Atas dasar SEMA tersebut lalu DirektOrat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) mengeluarkan Surat Edaran Nomor 06/PJ.4/1979 Tanggal 6 November 1979 yang membekukaapelaksanaan sandera guna menghormati SEMA tersebut.

Secara yuridis sebenarnya produk laukum SEMA tersebut gugur demi hukum karena isi SEMA tidak bisa mengganti isi undang-undang yang mempunyai urutan atau kedudukan lebih tinggi. Hal ini bisa dimengerti bila jalan pikiran kita dikaitkan dengan masalah kemanusiaan yang adil dan beradab, apalagi bila dilakukan terhadap Wajib Pajak yang memang sudah tidak

 

Pertimbangan MA saat mengeluarkan surat edarannya tentu berbeda dengan kondisi saat ini. Hal ini diketahui dengan diterbitkannya kembali Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1, Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan yang mencabut SEMA Nomor 2 Tahun 1964 dan SEMA Nomor 4 Tahun 1975, yang menegaskan bahwa pembekuan lembaga sandera dipandang tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kebutuhan hukum saat ini yaitu dalam rangka penegakan hukum dan keadilan serta pembangunan bangsa.

Pada intinya PERMA di atas mengatur bahwa lembaga paksa badan dapat dilakukan. dengan dua kriteria, yaitu:

  1. Utang debitor sekurang-kurangnya sebesar Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah); dan
  2. Debitor punya itikad tidak baik untuk melunasi utangnya. Itikad tidak baik di sini adalah debitor yang mampu tetapi, tidak mau memenuhi kewajibannya untuk membayar utangnya.

 

 

Ada dua hal yang menarik dari Peraturan MA tersebut, yaitu:

 

  1. Adanya, penegasan perbuatan hukum debitor, penanggung atau penjamin utang yang tidak memenuhi .kewajibannya untuk membayar kembali utang-utangnya, padahal dia mampu,Untuk melaksanakannya, merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang nilainya lebih besar daripada pelanggaran hak asasi atas pelaksanaan paksa badan terhadap yang bersangkutan. Penekanan di sini adalah bagi mereka yang mampu tetapi tidak mau melunasi kewajibannya.
  2. Adanya istilah ‘Imprisonment for Civil Debts’ yang memberi kesan terjadinya intervensi hukum pidana bagi bagian hukum, publik terhadap masalah-masalah perdata (utang piutang).

Adanya kesan intervensi pada bagian b di atas; dikatakan oleh Prof. Dr. Muladi, bahwa hal ini bisa dibenarkan dalam batas-batas tertentu mengingat sikap komplementer semacam ini tidak asing lagi dalam kehidupan hukum,di Indonesia. Sikap komplementer juga terjadi antara hukum pidana dan hukum administrasi dalam bentuk `administrative penal law’ yang semakin marak dalam kehidupan modern. Dalam hal ini tampak semakin intensifnya kriminalisasi terhadap perbuatan yang sebenarnya masuk wilayah hukum administrasi. Oleh.karenanya dibutuhkan sanksi pidana untuk memperkuat SANKSI ADMINISTRASI, MISALNYA UNTUK MASALAH PERPAJAKAN, lingkungan hidup dsb.

Lembaga sandera (paksa badan).ini sangat menarik dalarn rangka penegakan hukum dan keadilan serta pembangunan ekonomi bangsa Indonesia, yang terlihat dengan semakin ramainya perbincangan masalah sandera dalam RUU tentang Restrukturisasi Utang dan Penyehatan Perseroan. Dalam RUU tersebut diatur bahwa de,bitor dapat disandera apabila debitor.tidak melunasi utangnya kepada kreditor dengan terlebih dahulu kreditor mengajukan permohonan penyanderaan kepada Pengadilan Niaga. Ini berarti bahwa lembaga sandera telah menjadi suatu kebutuhan dalam rangka penegakan hukum dan keadilan seperti ditegaskan dalarn Peraturari MA tersebut di atas.

 

Penyanderaan tidak boleh dilaksanakan dalam kondisi sebagai berikut:

  1. Apabila Penanggung Pajak sedang beribadah;
  2. Apabila Penanggung Pajak sedang mengikuti sidang resmi;
  3. Apabila Penariggung”Pajak ‘Sedang’ mengikuti Pemilihan Umum(Pemilu).

 

Selanjutnya penyanderaan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan yang diterbitkan oleh Pejabat (Kepala KPP atau Kepala KPPBB) setelah memperoleh izin tertulis dari Menteri Keuangan untuk penagihan pajak pusat atau dari Gubernur KDH Tingkat I untuk penagihan pajak daerah.

Jangka waktu penyanderaan hanya dapat dilakukan paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak Penanggung Pajak ditempatkan dalam tempat penyanderaan dan dapat diperpanjang untuk selama-lamanya 6 (enam) bulan. Ketentuan mengenai jangka waktu maksirmim penyanderaan ini didasarkan pada’ perhitungan besarnya utang pajak, besarnya jumlah harta yang disembunyikan dan dihubungkan dengan itikad baik Penanggung Pajak untuk melunasi utang pajaknya.

Dengan dilakukannya penyanderaan, maka segala biaya yang terjadi seperti biaya hidup selama dalam penyanderaan di rumah tahanan negara dan biaya penangkapan dalam hal Penanggung Pajak melarikan diri dari rumah tahanan negara menjadi beban Penanggung Pajak yang disandera yang akan diperhitungkan sebagai biaya penagihan pajak.

Sekalipun Penanggung Pajak disandera, selama dalam penyanderaan Penanggung Pajak tetap memperoleh hak-haknya seperti:

 

  1. Melakukan ibadah di tempat penyanderaan sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing;
  2. Memperoleh pelayanan kesehatan yang layak sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
  3. Mendapat makanan yang layak termasuk menerima kiriman dari keluarga;
  4. Menyampaikan keluhan tentang perlakuan petugas;
  5. Memperoleh bahan bacaan dan informasi lainnya atas biaya Penanggung Pajak yang disandera;
  6. Menerima kunjungan dari keluarga dan sahabat; dokter pribadi atas biaya sendiri; dan rohaniawan.

 

Penangung Pajak yang disandera tentunya dapat dilepas apabila memenuhi salah satu hal, seperti di bawah ini (Pasal 34), yaitu:

  1. Apabila utang pajak dan biaya penagihan pajak telah dibayar lunas;
  2. Apabila jangka waktu yang ditetapkan dalam Surat Perintah Penyanderaan itu telah terpenuhi;
  3. Ada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau

Berdasarkan pertimbangan tertentu dari Menteri atau Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.

Apakah karena Penanggung Pajak telah disandera, atas utang pajak yang. timbul .menjadi hapus? Tentu saja tidak. Utang pajak dan pelaksanaan penagihan pajak tetap dapat, dilaksanakan dan tidak menjadi hapus, karena pada prinsipnya tujuan penyanderaan adalah agar Penanggung Pajak tidak menyembunyikan harta kekayaannya dan berusaha, membuat malu, sehingga mau melunasi utang pajaknya.

Mengenai rehabilitasi nama baik, akan dilaksanakan oleh Pejabat dalam bentuk 1 (satu) kali pengumuman pada media cetak harian yang berskala nasional dengan ukuran yang mernadai, yang dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya permohonan Penanggung Pajak. Sedangkan mengenai ganti rugi, akan diberikan oleh Pejabat kepada Penanggung Pajak

 

GUGATAN PELAKSANAAN PENAGIHAN PAJAK

 

Dalam undang-undang tentang penagihan pajak, gugatan diberikan pengertian sebagai suatu’ upaya hukum terhadap pelaksanaan penagihan pajak dan kepemilikan barang sebagaiinana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Gugatan terhadap pelaksanaan penagihan pajak ini hanya meliputi gugatan atas pelaksanaan Surat Paksa, sita, lelang maupun penyanderaan. Penanggung Pajak dapat mengajukan gugatan atas pelaksanaan penagihan pajaknya kepada Pengadilan Pajak: Sedangkan gugatan atas kepemilikan barang yang disita diajukannya kepada Pengadilan Negeri. Pengertian gugatan atas kepemilikan barang termasuk juga dalam pengertian sanggahan sebagaimana diatur dalam Undang-undang KUP.

Gugatan atas pelaksanaan penagihan pajak ke Pengadilan Pajak hares diajukan dalam waktu 14 (empat betas) hari sejak Surat Paksa, sita, maupun lelang telah dilaksanakan. Hitungan 14 (ernpat belas) hari dihitung sejak dilakukannya pernberitahuan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak. Untuk sita dihitung sejak pembuatan Berita Acara Pelaksanaan Sita, dan untuk lelang dihitung sejak Pengumuman Lelang. Apabila dalam jangka waktu dimaksud Penanggung Pajak tidak mengajukan gugatan, maka hak untuk menggugat tidak bisa diterima alias gugur.

Sebelum Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 diubah, ketentuan Pasal 37 ayat (3) menegaskan bahwa sekalipun Penanggung Pajak mengajukan upaya hukum gugatan ke Pengadilan Pajak, upaya yang dilakukan tidak menunda .pelaksanaan penagihan pajak. Akan tetapi sejak di berlakukannya Undang¬undang Nomor 19 Tahun 2000 sebagai perubahan atas Undang-undang Nomor ,19 Tahun 1997, ketentuan Pasal 37 ayat (3) tersebut sudah dihapus.

Dengan dihapusnya ketentuan ini, bisa menimbulkan dua pendapat. Pertama, tindakan penagihan tetap dapat dilaksanakan dengan alasan tidak ada ketentuan yang mengatur untuk menghentikannya. Kedzia, penagihan untuk sementara dihentikan menunggu adanya putusan Pengadilan Pajak. Bahkan clengan dihapuskan ketentuan tersebut, menimbulkan pertanyaan, mengapa khusus untuk persoalan gugatan tidak ada ketentuan tersebut, sementara untuk ,keberatan (dalam UU KUP) dan banding (dalam UU Pengadilan Pajak) yang diajukan Wajib Pajak, ketentuan untuk tetap dilakukan tindakan penagihan ,tetap masih ada.

Penanggung Pajak dapat mengajukan permohonan rehabilitasi nama baik dan ganti rugi kepada pejabat yang menerbitkan Surat Perintah Penyanderaan. Namun, apabila setelah masa penyanderaan berakhir, Penanggung Pajak tidak dapat lagi mengajukan gugatannya kepada Pengadilan Negeri.

Cara merehabilitasi nama baik Penanggung Pajak diatur dalam Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 137 Tahun 2000, yang dilakukan dalam bentuk 1 (satu) kali pengumuman pada media cetak harian. yang berskala nasional dengan ukuran yang memadai, yang dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya permohonan rehabilirasi. Sedangkan untuk ganti ruginya hanya diberikan sebesar Rp• 100.000 setiap hari selama masa penyanderaan yang telah dijalaminya.

 

ANGSURAN DAN PENUNDAAN PEMBAYARAN PAJAK.

 

Wajib Pajak yang dalam melakukan aktivitas bisnisnya (usahanya) kadang kala mengalami kesulitan likuiditas perusahaan yang dapat mengganggu lancarnya usaha yang dilakukan sehari-hari. Sehingga dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya juga menjadi tidak lancar. Menghadapi kondisi yang demikian kepada Wajib Pajak yang mengalami kesulitan likuiditas atau mengalami keadaan di luar kekuasaannya tersebut diberikan kelonggaran untuk mengajukan permohonan mengangsur” atau menunda pembayaran pajaknya sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (4) Undang-undang KUP.

Angsuran dan penundaan pembayaran pajak yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak adalah angsuran atau penundaan darI ketetapan pajak yang menyebabkan jumlah pajak yang terntang bertambah, yaitu ketetapan yang tercantum ‘dalarn Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Keputusan Pembetulan,, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding.

Apabila Wajib Pajak menerima salah satu atau lebih.dari surat ketetapan pajak seperti dimaksud di atas, yang harus DILUNASI  sesuai dengan jauth temponya, namun Wajib  Pajak merasakan kesulitan untuk melunasi karena alasan kesulitan likuiditas atau keadaan di luar kekuasaannya, ‘maka Wajib Pajak dapat mernbuat surat .permohonan untuk mengangsur atau menunda pembayaran utang pajaknya kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP)

Dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-53/PJ/1996 tanggal 23 Juni 1995, tam: cara pelaksanaan pemberian angsuran dan penundaan pembayaran pajak diatur sebagai berikut:

 

Syarat-syarat perrnohonan:

 

1.Permohonan harus diajukan sebelum jatuh tempo pembayaran ‘dengan disertai alasan dan jurnlah peinbayarari yang akan diangsur/ditunda. Permohonan dapat diajukan setelah jatuh tempo berakhir apabila Wajib Pajak berada dalam keadaan, di luar kekuasaannya, misalnya sakit keras, surat ketetapan diterima setelah tanggal jatuh tempo, dan sebagainya.

2.Menggunakan formulir yang telah ditentukari yaitu formulir Surat Permohonan Angsuran/Penundaan, Pembayaran (KR Rikpa.4.1) dengan bukti tanda terima.

3.Wajib Pajak harus bersedia memberikan jaminan, misalnya berupa, bank )garansi, perhiasan, kendaraan bermotor (Buku Pernilikan Kendaraan Bermotor), sertifikat tanah, gadai dari barang bergerak lainnya, penyerahan hak milik secara kepercayaan (fiduciare eigendoms overdracht—FEO), hipotek, atau penanggungan utang oleh pihak ketiga(borgstelling).:Namun apabila Kepala KPP menganggap tidak perlu ada jaminan, permohonan tetap ,dapat diproses.

 

Permasalahan  pemberian angsuran atau penundaan pembayaran pajak sering kali pula dikaitkan’ dengan .adanya keharusan jaminan yang akan diberikan oleh Wajib Pajak. Bentuk jaminan yang bisa diberikan dapat berupa bank:garansi, perhiasan, kendaraan bermotor, gadai; hipotek, penanggungan utang .oleh pihak ketiga, sertifikat tanah atau sertifikat deposit°. Dalam pelaksanaannya, jaminan untuk pemberian angsuran atau penundaan ,pajak sebenarnya tergantung pada pertimbangan kepala kantor pajak. Artinya, kepala kantor pajak bisa saja menganggap tidak perlu ada jaminan apabila Wajib Pajak jelas diketahui keberadaannya dan bersifat kooperatif apabila kantor pajak memanggil dan memerlukan informasi lebih lanjut untuk masalah pelunasan utang pajaknya.

Setelah kepala KPP mempertimbangkan alasan-alasan yang diajukan dalam permohonan, maka ada tiga kemungkinan keputusan yang akan dikeluarkan, yaitu:

  1. Menerima seluruhnya;
  2. Menerima sebagian;
  3. Menolak permohonan Wajib Pajak.

 

Karena masa angsuran atau penundaan hanya diberikan paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keputusan diterbitkan, maka terhadap permohonan Wajib Pajak yang diterima seluruhnya atau sebagian, akan diterbitkan Surat Keputusan Angsuran Pembayaran Pajak dengan masa angsuran paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterbitkannya keputusan tersebut dengan jumlah angsuran yang sama besarnya, paling banyak 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan. Demikian pula terhadap penundaan akan dikeluarkan Surat Keputusan dengan masa penundaan paling lama 12 (dua belas) bulan. Atas keputusan angsuran maupun penundaan tersebut akan dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan.

Perlu diketahui oleh Wajib Pajak bahwa Surat Keputusan Angsuran Pembayaran Pajak atau Surat Keputusan Penundaan Pembayaran Pajak akan dinyatakan tidak berlaku lagi apabila Wajib Pajak mengajukan permohonan pembetulan, keberatan, gugatan atau banding, atau pengurangan/penghapusan sanksi atau pengurangan/pembatalan surat ketetapan pajak, yang berkaitan dengan utang pajak yang diizinkan untuk diangsur atau ditunda. Dengan kata lain, Wajib Pajak tidak dibolehkan mengajukan dua upaya hukum atas saw keketapan pajak.

Apabila atas suatu ketetapan pajak telah diajukan upaya hukuni keberatan, maka atas ketetapan pajak tersebut tidak dibolehkan lagi diajukan upaya pemberian angsuran atau penundaan pembayaran pajak. Ini dapat dipahami, dengan alasan apabila Wajib Pajak mengajukan keberatan atau banding berarti Wajib Pajak tidak setuju atas ketetapan pajak yang terbit sedangkan bila Wajib Pajak mengajukan upaya angsuran atau penundaan pembayaran pajak, berarti Wajib Pajak setuju atas ketetapan pajak, hanya saja Wajib Pajak tidak mempunyai uang untuk sekaligus melunasi utang pajaknya

.

PENGHAPUSAN PIUTANG PAJAK

 

Piutang pajak pada prinsipnya dapat dihapuskan dari administrasi kantor

pajak karena tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi dengan beberapa alasan. Ketentuan yang mengaturnya didaSarkan pada Keputusan Menteri Keuarigan Nomor 565/KMK.04/2000 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 539/KMK.03/2002 tentang Tata Cara

Ada beberapa: alasan mengapa piutang, pajak bisa dihapus dari data

administrasi kan tor pajak. Alasan-alasan tentunya didasarkan pada kondisi :tdrtentu baik atas piutang pajak Wajib ,Pajak Orang Pribadi maupun Wajib ,’Pajak Badan. Piutang pajak untuk Wajib Pajak,Orang Pribadi yang tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi, disebabkan beberapa hal, yaitu:

Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak tidak dapat ditemukan atau meninggal dunia dengan tidak meninggalkan harta warisan dan ,tidak mempunyai ahli waris, atau ahli waris tidak dapat ditemukan;

Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak tidak mempunyai harta kekayaan lagi;

Ch Penagihan pajak secara aktif telah dilaksanakan dengan penyampaian Salinan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak melalui Pemerintah, Daerah setempat;

Hak untuk melakukan penagihan pajak sudah daluwarsa; atau Sebab lain sesuai hasil penelitian.

Sedangkan untuk piutang pajak Wajib Pajak Badan yang tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi, disebabkan beberapa hal, yaitu:

  1. a. Wajib Pajak bubar, likuidasi, atau pailit dan pengurus, direksi, komisaris, pemegang saham, pemilik modal, atau pihak lain yang dibebani untuk melakukan pemberesan atau likuidator, atau kurator tidak dapat

ditemukan;

b.Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak tidak memiliki harta kekayaan lagi;

Penagihan pajak secara aktif telah dilaksanakan dengan penyampaian

Salinan Surat Paksa kepada pengurus, direksi, likuidator, kurator, pengadilan

negeri, pengadilan niaga, atau Pemerintah Daerah setempat, baik secara

‘langsung maupun dengan menempelkan pada papan peligumurnan atau media massa;

c.Hak untuk melakukan penagihan pajak sudah daluwarsa;

d.Sebab lain sesuai hasil penelitian.

 

Untuk memastikan  keadaan Wajib Pajak bahwa piutangnya tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi, tentunya harus dilakukan melalui suatu penelitian yang disebut penelitian setempat atau penelitian administrasi

.

Proses penelitian setempat akan dilakukan terhadap piutang pajak yang dihapuskan dengan alasan-alasan:

  1. Wajib Pajak meninggal dunia dengan tidak meninggalkan harta warisan dan tidak mempunyai ahli waris, atau ahli waris tidak dapat ditemukan. Hal ini dapat dibuktikan dengan surat keterangan kematian dan surat keterangan dari pejabat yang berwenang yang menyatakan bahwa Wajib Pajak yang meninggal dunia tersebut tidak meninggalkan harta warisan dan tidak mempunyai ahli waris.

Apabila Wajib Pajak yang meninggal dunia meninggalkan harta warisan dan mempunyai ahli waris, maka tindakan penagihannya dapat ditujukan kepada ahli warisnya atau kepada pelaksana surat wasiat. Namun apabila yang meninggal dunia meninggalkan harta warisan tetapi tidak mempunyai ahli waris, maka harta warisan akan dikelola oleh Balai Harta Peninggalan (BHP), dengan dernikian penagihannya dapat ditujukan kepada Balai Harta Peninggalan. Kernimgkinan lain apabila Wajib Pajak yang meninggal Julia tidak meninggalkan harta warisan tetapi triempunyai.ahli waris, tindakan penagihannya tetap dapat dilakukan kepada ahli warisnya.

  1. Wajib Pajak tidak memiliki harta kekayaan lagi yang dapat dibuktikan dengan surat keterangan daripejabat berwenang yang ,rnenyatakan bahwa Wajib Pajak mernang benar-benar sudah tidak mempunyai harta lagi.
  2. Sebab lain, misalnya Wajib Pajak tidak dapat ditemukan, dokumen yang tidak lengkap, atau tidak dapat ditemukan lagi disebabkan keadaan yang tidak dapat dihindarkan, seperti bencana alam, kebakaran, rusak karena. dimakan rayap, dan sebagainya.

Sedangkan terhadap proses penelitian administrasi akan dilakukan,terhadap piutang pajak yang dihapuskan dengan alasan-alasan:

a.Wajib Pajak yang hak penagihannya yang hak penenagihannva telah daluwarsa, sebagairnana dimaksud Pasal 22 Undang-undang KUP

 

b,Sebab lain, misalnya Wajib Pajak tidak dapat ditemukan, &lumen yang tidak lengkap, atau tidak dapat ditemukan lagi disebabkan keadaan yang tidak dapat dihindarkan seperti bencana alam, kebakaran, rusak karena ‘dimakan rayap, dan sebagainya

.

Khusus terhadap penelitian setempat maupun penelitian administrasi yang dilakukan terhadap piutang pajak yang dihapuskan dengan alasan sebab lain, pelaksanaannya haruslah berdasarkan persetujuan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atasannya.

:           Selanjutnya Laporan Hasil Penelitian Setempat maupun Penelitian

Administrasi yang dilakukan oleh jurusita haruslah menggambarkan keadaan (*jib Pajak atau piutang pajak Wajib Pajak yang bersangkutan, yang akan taigunakan sebagai dasar untuk menentukan besarnya piutang pajak yang tidak dapat ditagih lagi.

 

Mengenai Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak itu sendiri, telah diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-625/PJ/2001. Hal okok yang diatur adalah sebagai berikut:

a.Bahwa setiap bulan wajib dilakukan inventarisasi piutang pajak-piutang  pajak yang diperkirakan tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi. Atas piutang pajak dimaksud dilakukan penelitian setempat atau penelitian administrasi yang hasilnya dituangkan dalam Laporan Hasil Penelitain Setempat atau Laporan Hasil Penelitian Administrasi. Penelitian setempat dilakukan atas Wajib Pajak yang telah meninggal dunia, yang sudah tidak rnempunyai harta kekayaan lagi atau yang tidak dapat ditelusuri lagi karena adanya bencana alam, kebakaran dan lain sebagainya. Sedangkan penelitian administrasi dilakukan terhadap Wajib Pajak yang penagihannya telah daluwarsa

b Selanjutnya setiap akhir tahun takwim, Kepala Kantor Pelayanan Pajak mengirimkan Daftar Usulan Penghapusan Piutang Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, paling lambat tanggal 10 Januari tahun takwim berikutnya.

c.Setelah Daftar Usulan Penghapusan Piutang Pajak diterirna, Direktur Jenderal Pajak membuat dan menyampaikan Konsep Keputusan Menteri Keuangan dan Lampirannya kepada Menteri Keuangan.

d Setelah Menteri Keuangan menandatangani keputusan dimaksud, maka Kepala kantor Pelayanan Pajak membuat petikan Keputusan Menteri Keuangan tentang Penghapusan Piutang Pajak dari Salinan Keputusan Menteri Keuangan yang diterimanya

 

 

 

 

DALUARSA PENAGIHAN PAJAK.

 

Daluarsa penagihan merupakan suatu batasan waktu yang ditentukan oleh undang-undang bahwa fiskus tidak mempunyai hak lagi untuk melakukan penagihan terhadap utang pajak Wajib Pajak. Daluarsa penagihan dimaksudkan untuk menegaskan adanya kepastian hukum bagi Wajib Pajak terhadap suatu utang pajak untuk tidak ditagih lagi. Ketentuan daluwarsa penagihan diatur dalam Pasal 22 Undang-undang KUP No. 16 Tahun 2000 yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut

:

Ayat (1) “Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah lampau waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian tahun Pajak atau Tahun Pajak yang bersangkutan.”

Ayat (2) “Daluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (91) tertangguh apabila:

  1. Diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa;
  2. Ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung;
  3. Diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau Surat ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4).”

 

Apabila terhadap Wajib Pajak telah dilakukan hal-hal seperti • dimaksud ayat (2) huruf a, b, dan c, maka daluwarsa penagihan pajak dihitung sejak dilaksanakannya hal-hal tersebut. Misalnya terhadap Tuan Amir telah diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa, maka daluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Paksa.

 

Pengertian adanya pengakuan utang pajak dari Wajib  Pajak baik langsung maupun tidak langsung dijelaskan misalnya:

aWajib Pajak mengajukan pernohonan angsuran atau penundaan pembayaran utang pajak sebelum jatuh tempo pembayaran. Dalam seperti ini daluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal surat permohonan angsuran atau penundaan pembayaran utang pajak diterima oleh Direktur , Jenderal Pajak.

b.Wajib Pajak mengajukan keberatan . Dalam hal seperti ini daluarsa penagihan dihitung sejak tanggal surat keberatan Wajib Pajak diterima Direktur Jenderal Pajak.

c.Wajib Pajak melaksanakan pembayaran sebagian utang pajaknya. Dalam hal seperti           ini daluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal pembayaran sebagian utang pajak tersebut

.

Terhadap Wajib Pajak yang terbukti melakukan  tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan fiskus menerbitkan SKPKB atau SKPKBT, maka dalam  hal demikian, daluarsa penagihan dihitung sejak tanggal penerbitan ketetapan tersebut.

KEBERATAN DAN BANDINGWAJIB PAJAK.

 

 KEBERATAN DAN BANDING WAJIB PAJAK

KEBERATAN WAJIB PAJAK.

  1. Dasar Hukum pengajuan keberatan diatur dalam Ketentuan Bab V Pasal 25 UU No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU .KUP) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 28 Tahun 2007.

Sebagau aturan pelaksanaan bagi Direktur Jenderal Pakak , pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.

Pasal 25 UU KUP mengatur :

  • Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu
    Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar SKPKB);
  1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT);
  2. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN);
  3. Surat ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB): atau
  4. Pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan peraturan perundang-undangan perpajakan.

 

  1. Syarat-syarat pengajuan Keberatan Wajib Pajak.
    1. Keberatan Wajib pajak diajukan seca
    2. ra tertulis dalam bahasa Indonesia;
    3. Mengemukakan jumlah pajak yang terutang, jumlah pajak yang dipotong atau dipungut, atau jumlah rugi menurut perhitungan Wajib Pajak , disertai alasan yang menjadi dasar perhitungan.
    4. Diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak;
    5. Satu surat keberatan untuk satu surat ketetapan wajib Pajak;
    6. Wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum surat keberatan Wajib Pajak disampaikan.

 

  1. Tujuan pengajuan keberatan.

Pengajuan keberatan bertujuan untuk melindungi hak-hak  wajib pajak secara hukum manakala terjadi kesewenang-wenangan dalam menentukan kewajiban perpajakan. Maksud pemberian hak mengajuan keberatan agar wajib pajak mempunyai kesempatan untuk mendapat keadilan di bidang perpajakan.

Untuk mendapatkan kepastian hukum undang-undang mengatur bahwa keberatan yang tidak memenuhi persyaratan bukan merupakan surat keberatan sehingga tidak dipertimbangkan ( Pasal 25 ayat (4) UU KUP).  Disisi lain diatur juga bahwa Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 ( dua belas) bulan sejak tanggal surat keberataan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan ( Pasal  26 ayat (1)). Dan apabila  jangka waktu 12 ( dua belas) bulan tersebut telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan (Pasal 26 ayat (5) UU KUP )

Bahwa undang-undang juga mengatur kewajiban wajib pajak untuk melunasi jumlah pajak yang telah disetujuinya dalam pembahasan hasil pemeriksaan sebelum wajib pajak mengajukan keberatan.Dan apabila keberatan wajib pajak ditolak , dikenakan sanksi sebesar 50 % dari jumlah pajak yang kurang dibayar.

Jenis-Jenis Keputusan Keberatan Wajib Pajak:

  • Mengabulkan seluruhnya;
  • Mengabulkan sebagian;
  • Menolak;
  • Menambah jumlah pajak yang masih harus dibayar.

 

 

PENGAJUAN BANDING TERHADAP SURAT KEPUTUSAN KEBERATAN

Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan Banding, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dasar Hukum Pengajuan Banding adalah :

  1. Pasal 27 Undang-undang No. 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
  2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak.

Banding diajukan Wajib Pajak terhadap Surat Keputusan Keberatan yang tidak disetujui olh Wajib Pajak. Wajib Pajak yang mengajukan banding disebut sebagai Pemohon Banding, sedamg Fiskus seperti Direktur Jenderal Pajak disebut sebagai Terbanding.

Syarat-syarat pengajuan banding:

  • Diajukan ke badan peradilan pajak ( Pengadilan Pajak);
  • Dalam bahasa Indonesia;
  • Dalam jangka waktu 3 (tuga) bulan sejak surat keputusan keberatan di terima;
  • Satu surat permohonan banding untuk satu surat keputusan keberatan;
  • Di tanda tangani Wajib Pajak / Wakil/ Kuasa;
  • Melunasi 50 % jumlah pajak terutang;
  • Menyebutkan jumlah pajak yang tidak disetujui dan memberikan alasan yang jelas;
  • Menyebutkan tanggal diterimanya Surat Keputusan Keberatan yang dibanding.

Putusan banding diambil melalui pemeriksaan dalam sidang Acara cepat maupun melalui Acara Biasa.

Sidang Acara Cepat dilakukan untuk memeriksa pemenuhan ketentuan formal. Sedang sidang pemeriksaan dengan Acara Biasa dilakukan memeriksa formal dan material yang menjadi sengketa banding.

Pemeriksaan sengketa banding dilakukan oleh Hakim Tunggal atau Majelis Hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Pajak melalui Surat Penetapan.

Putusan Pengadilan Pajak diambil dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan berdasarkan musyawarah Majelis Hakim.

Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan:

  • Peraturan perundang-undangan;
  • Pembuktian;
  • Keyakinan hakim.

Putusan Pengadilan Pajak dapat berupa :

  • Mengabulkan seluruhnya;
  • Mengabulkan sebagian;
  • Menolak
  • Membatalkan;
  • Menambah;
  • Tidak Dapat Diterima (TDD).

Putusan Pengadilan Pajak berirah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir dan telah berkekuatan hukum tetap.

 

PENINJAUAN KEMBALI (PK).

Peninjauan Kembali adalah upaya hukum luar biasa yang diajukan oleh pihak-pihak yang mempunyai adanya data baru (novum) yang kalau dipertimbangkan dalam pemeriksaan di tingkat banding  akan memberi putusan yang berbeda dengan Putusan Pengadilan Pajak, ditujukan ke Mahkamah Agung.

Peninjauan Kembali dapat dilakukan oleh Pemohon Banding atau oleh Terbanding.

Syarat-syarat pengajuan Peninjauan Kembali :

  • Diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak putusan pengadilan pajak diterima.
  • Menyampaikan memori Peninjauan Kembali;
  • Membayar biaya perkara Rp. 2,500.000,-

   Putusan Peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung diambil melalui sidang pemeriksaan oleh Majelis Hakim Agung dalam jangka waktu 6 (enam) bulan.

Putusan  Peninjauan Kembali dapat berupa :

  • Mengabulkan seluruhnya / sebagian;
  • Menolak;
  • Membatalkan;
  • Tidak Dapat Diterima (TDD).

ASAS-ASAS PEMUNGUTAN PAJAK.

 

ASAS ASAS PEMUNUTAN PAJAK

ASAS- ASAS PEMUNGUTAN PAJAK.

Pemungutan Pajak dilakukan  berdasarkan pada tempat tinggal seseorang atau berdasarkan kebangsaan seseorang atau berdasarkan di mana penghasilan diperoleh. Pemahaman tentang batas kewenangan pemungutan pajak penting agar pemungutan pajak tidak menjadi berulang-ulang sehingga memberatkan orang yang dikenakan pajak.

Ada 3 jenis asas pemungutan pajak yaitu:

  1. Asas Tempat Tinggal / domisili.

Asas tempat tinggal atau asas domisili adalah merupakan asas pemungutan pajak berdasarkan tempat tinggal atau domisili seseorang. Suatu negara hanya dapat memungut pajak terhadap semua orang yang bertempat tinggal atau berdomisili di negara yang bersangkutan atas seluruh penghasilan di manapun diperoleh, tanpa memperhatikan apakah orang yang bertempat tinggal tersebut warga negaranya atau warga negara asing.

 

  1. Asas Kebangsaan

Asas kebangsaan adalah merupakan suatu asas pemungutan pajak yang didasaarkan pada kebangsaan suatu negara. Suatu negara akan memungut pajak kepada setiap orang yang mempunyai kebangsaan atas negara yang bersangkutan sekalipun orang tersebut tidak bertempat tinggal di negara yang bersangkutan. Misalnya : Negara A  akan memungut pajak terhadap semua orang yang berkewarga negara A sekalipun orang tersebut tidak bertempat tinggal di Negara A.

 

  1. Asas Sumber.

Asas sumber adalah merupakan suatu asas pemungutan pajak yang didasarkan pada sumber atau tempat penghasilan berada. Apabila suatu sumber penghasilan berada di suatu negara maka negara tersebut hendak memungut pajak kepada setiap orang yang memperoleh penghasilan dari tempat atau sumber penghasilan tersebut berada.

Uu Penghasilan Indonesia menganut  ketiga asas di atas . Khusus terhadap asas tempat tinggal UU PPH menegaskan adanya batasan waktu untuk bertempat tinggal atau berada di Indonesia yaitu lebih daari 183 hari dalam jangka waktu 12 Bulan. Keberadaan lebih dari 183 Hri tidaklah harus berturut-turut tetapi ditentukan oleh jumlah hari seseorang berada di Indonesia dalam jangka waktu 12 bulan sejak kedatangannya di Indonesia.Untuk asas kebangsaan dan asas sumber dapat dipahami yaitu bahwa terhadap setiap warga negara Indonesia dimanapun berada akan dikenakan pajak oleh negara Indonesia, demikian pula halnya bila seorang bukan warga negara Indonesia namun memperoleh penghasilan di Indonesia , maka negara Indonesia mempunyai hak untuk mengenakan pajak kepada setiap orang yang memperoleh penghasilan dari sumber penghasilan

PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

  1. PBB adalah pajak atas bumi dan bangunan yang pengenaannya dibagi dalam 5 sektor yaitu sektor: Pedesaan, Perkotaan, Perkebunan, Perhutanan dan Pertambangan. Ditinjau dari jenisnya dewasa ini Pajak Bumi dan Bangunan merupakan :
  2. Pajak Pusat;
  3. Pajak Daerah;
  4. Sektor Perkebunan, Perhutanan dan Pertambangan merupakan Pajak Pusat, sedangkan Sektor Pedesaan dan Perkotaan merupakan Pajak Kabupaten/Kota
  5. Hanya Sektor Perkotaan yang merupakan Pajak Pusat.
  6. Dalam menetukan besarnya PBB yang harus dibayar diperlukan pengetatahuan tentang besarnya Nilai Jual Obyek Pajak. NJOP tersebut dapat ditentukan berdasarkan besarnya:
  7. Harga atau Nilai Transaksi dari Tanah dan Bangunan yang tertinggi pada tahun ybs.
  8. Harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP Pengganti;
  9. Harga rata-rata tanah dan atau bangunan yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar;
  10. Harga rata-rata yang diperoleh dari ganti rugi tanah dan atau bangunan yang terjadi secara wajar.
  11. Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) adalah merupakan sarana bagi Wajib Pajak PBB dalam:
  12. Melaporkan besarnya Pajak Bumi dan atau Bangunan yang telah dibayar;
  13. Melaporkan objek Pajak Bumi dan atau Bangunan yang dimilikinya ataupun yang dikuasainya;
  14. Mengajukan keberatan ke Kantor Pelayanan Pajak atas ketetapan yang diterimanya;
  15. Melaporkan data Objek Pajak menurut ketentuan undang-undang Pajak Bumi dan Bangunan.
  16. Pada dasarnya penetapan Nilai Jual Kena Pajak adalah 3 (tiga) tahun sekali. Namun demikian untuk daerah tertentu yang karena perkembangan pembangunan mengakibatkan kenaikan Nilai Jual Objek Pajak cukup besar, maka penetapan nilai jual ditetapkan setahun sekali.Dalam menetukan nilai jual , Menteri Keuangan :
  17. Mendengar pertimbangan Kepala Daerah;
  18. Mendengar pertimbangan Gubernur;
  19. Mendengar pertimbangan Gubernur serta memperhatikan asas self assessment;
  20. Jawaban a,b dan c tidak ada yang benar.
  21. Atas ketetapan PBB atau atas  SPPT , Wajib pajak dapat mengajukan keberatan:
  22. Setelah melunasi Pajak Bumi dan Bangunan yang terutang tersebut;
  23. Dalam jangka waktu 3 (tiga ) bulan sejak menyampaikan SPOP;
  24. Dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah diterimanyaSurat Ketetapan PBB atau SPPT;
  25. Dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT atau Surat Ketetapan pajak kecuali apabila WP dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya.
  26. Banding atas Keputusan Keberatan tentang Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pedesaan dan Perkotaan yang sekarang menjadi Pajak Kabupaten/Kota , diajukan Wajib Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak keputusan keberatan diterima kepada :
  27. Pengadilan Negeri;
  28. Pengadilan Tata Usaha Negara;
  29. Pengadilan Pajak melalui Kepala Dinas Pendapatan Kabupaten/Kota;
  30. Pengadilan Pajak.
  31. Di bawah ini merupakan objek pajak yang tidak dikenakan PBB, kecuali :
  32. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dibidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
  33. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purba kala atau yang sejenis dengan itu;
  34. Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan perlakukan timbal balik
  35. Digunakan oleh badan atau perwakilan internasional yang ditentukan oleh Menteri
  36. Subjek Pajak PBB adalah orang atau badan yang secara nyata:
  37. Yang mempunyai suatu hak atas bumi dan bangunan dan memperoleh manfaat atas bumi dan bangunan tersebut
  38. Mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau memperoleh manfaat atas bumi dan bangunan
  39. Mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau memperoleh manfaat atas bumi dan/atau memiliki dan memperoleh manfaat atas bangunan
  40. Mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau memperoleh manfaat atas bumi dan/atau memiliki, menguasai dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan
  41. Berdasarkan SPOP Tahun 2010, Tuan Ali memiliki tanah dan bangunan sebagai berikut:

– Tanah di Jalan Kembangan dengan nilai jual sebesar Rp. 240.000.000,00

– Bangunan yang didirikan pada tanggal 15 Januari 2009 mempunyai nilai sebesar Rp.140.000.000,00

– Bangunan pos satpam yang didirikan pada tanggal 20 Februari 2010 mempunyai nilai                         Rp. 7.500.000,00

– Taman mewah dengan nilai jual sebesar Rp.10.000.000,00

– Pagar mewah senilai Rp.31.500.000,00

besarnya PBB yang  terutang untuk Tahun Pajak 2010 adalah sebesar :

  1. 41.350.000,00
  2. 41.250.000,00
  3. 41.255.000,00
  4. 41.355.000,00
  5. Besarnya PBB yang terhutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Nilai Jual Kena Pajak (NJKP). Nilai Jual Kena Pajak yang benar adalah :
  6. 6.000.000,00
  7. 8.000.000,00
  8. 18.000.000,00
  9. 30.000,000,00pajak-bumi-dan-bangunan

 

 

 

 

Soal- soal untuk BPHTB :

  1. BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan yang dikarenakan pemindahan hak dan pemberian hak baru. Dibawah ini termasuk dalam pemindahan hak, kecuali :
  2. Jual beli
  3. Pemasukan dalam perseroaan atau badan hukum lainnya
  4. Kelanjutan pelepasan hak
  5. Pelaksanaan putusan hakim mempunyai kekuatan hukum tetap

 

  1. Objek pajak yang diperoleh karena waris, hibah wasiat, dan pemberian hak pengelolaan pengenaan pajaknya diatur dengan :
  2. Peraturan Pemerintah
  3. Peraturan Menteri Keuangan
  4. Peraturan Menteri Agama
  5. a dan c benar

 

  1. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling banyak Rp. 60.000.000,00 kecuali dalam hal perolehan hak karena :
  2. Waris
  3. Hibah wasiat yang diterima oleh orang pribadi yang masih dalam hubungan sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat
  4. Hibah wasiat yang diterima oleh orang pribadi yang masih dalam hubungan sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami istri
  5. a, b, dan c semuanya benar

 

  1. Nilai Perolehan Objek Pajak dalam hal peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah :
  2. Sesuai Ketetapan dalam Putusan Hakim tersebut
  3. Nilai Pasar
  4. Nilai Jual Objek PBB yang bersangkutan
  5. Nilai Jual Objek yang bersangkutan
  6. Dalam hal peralihan hak atas tanah dan bangunan terjadi karena waris, maka saat terutangnya BPHTB adalah sejak :
  7. Tanggal penandatangan akta waris
  8. Tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan
  9. Warisan tersebut diterima oleh ahli waris
  10. a dan b  salah

 

  1. Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan apabila :
  2. Pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar
  3. dari hasil pemeriksaan Surat Setoran BPHTB terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung
  4. Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan atau bunga
  5. a, b dan c semua benar

 

  1. Atas permohonan Wajib Pajak, pengurangan pajak yang terutang dapat diberikan oleh Menteri, kecuali :
  2. Tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk kepentingan sosial dan pendidikan .
  3. Karena kondisi tertentu Wajib Pajak yang ada hubungan dengan objek pajak.
  4. Kondisi Wajib Pajak yang ada hubungan dengan sebab-sebab tertentu
  5. Tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk kepentingan sosial dan pendidikan, yang semata-mata tidak mencari keuntungan

 

  1. Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan atas suatu Surat Ketetapan BPHTB, dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang menurut perhitungan Wajib Pajak disertai alasan yang jelas kepada :
  2. Gubernur Kepada Daerah Tingkat I
  3. Bupat/Walikota sebagai Kepala Daerah Tingkat II
  4. Menteri Keuangan
  5. Direktur Jenderal Pajak

 

  1. Wajib Pajak dapat mengajukan banding terhadap Keputusan mengenai keberatannya, hanya kepada :
  2. Gubernur Kepada Daerah Tingkat I
  3. Pengadilan Negeri
  4. Pengadilan Tata Usaha Negara
  5. Pengadilan Pajak

 

  1. Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, dalam hal :
  2. Pajak yang dibayar lebih besar dari yang seharusnya terutang
  3. Pajak yang terutang yang dibayarkan oleh Wajib Pajak sebelum akta ditandatangani, namun perolehan hak atas tanah dan atau bangunan tersebut batal
  4. apabila keberatan dan banding yang diajukan Wajib Pajak dikabulkan oleh Pejabat yang berwenang
  5. a dan b benar

 

BEA METERAI

 

  1. Atas dokumen tersebut dibawah ini dikenakan Bea Meterai kecuali :
  2. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata.
  3. Akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk rangkap-rangkapnya.
  4. Tanda bukti penerimaan uang negara dari kas Negara, Kas pemerintah Daerah , dan bank.
  5. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata.
  6. Besarnya tarif Bea Meterai dan besarnya batas pengenaan harga nominal yang dikenakan Bea Meterai ditetapkan dengan:
  7. Peraturan Pemerintah Pusat
  8. Peraturan Menteri Keuangan
  9. Praturan Pmerintah Daerah

UNDANG-UNDANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH

PPN DAN PPNBM

( PPN dan  PPn BM).

Pajak Pertambahan Nilai ( PPN) diatur dalam :

  • UU No 8 Tahun 1983, telah diubah dengan
  • UU No. 11 Tahun 1994, telah diubah dengan
  • UU No. 18 Tahun 2000, telah diubah terakhir dengan
  • UU No. 42 Tahun 2009.

Pada dasarnya Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak yang dipungut atas nilai tambah (tax on added value) yang memiliki beberapa legal karakter.

Undang-undang PPN mengatur :

  1. Ketentuan Umum
  2. Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
  3. Obyek Pajak dan Kewajiban Pencatatan
  4. Tarif Pajak dan Cara Menghitung Pajak
  5. Saat dan Tempat Terutang dan Laporan Penghitungan Pajak
  6. Ketentuan Lain-lain
  7. Ketentuan Peralihan
  8. Ketentuan Penutup.

Konsep Dasar PPN dan PPn.BM.

  1. Karakteristik PPN
  2. Beberapa legal karakter PPN antara lain sebagai berikut :
  3. PPN adalah Pajak Tidak Langsung
  4. PPN adalah Pajak Objektif
  5. PPN menerapkan tarif tunggal
  6. Metode pengurangan tidak langsung (indirect subtraction method)
  7. Dikenakan pada setiap jenjang penyerahan (multi stage level)
  8. PPN tidak menimbulkan pengenaan pajak berganda

g.PPN adalah pajak atas konsumsi dalam negeri

Karakteristik ini mengandung dua makna, yaitu sebagai berikut :

1) PPN bukan atas kegiatan bisnis

2) PPN dikenakan di tempat tujuan barang atau jasa akan dikonsumsi ( destination principle}.

  1. Karakteristik PPn. BM

1). PPn BM merupakan pungutan tambahan disamping PPN. Oleh karena itu tidak mungkin ada PPn BM tanpa PPN.

2). PPn.BM dikenakan hanya satu kali, yaitu:

a). Atas impor BKP Yang Tergolong Mewah;

b). Atas penyerahan BKP Yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh PKP selaku Pabrikan yang menghasilkan BKP Yang Tergolong Mewah tersebut.

  1. Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai

Mekanisme PPN dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu:

  1. Mekanisme PPN secara umum (diatur dalam pasal 9 & pasal 13 UU PPN)
  2. Mekanisme PPN yang bersifat khusus yang diatur dalam Pasal 16 A

 

  1. Objek Pajak PPN adalah:

Objek PPN diatur dalam pasal 4, Pasal 16C dan 16D 1984. Berdasarkan pasal-pasal dalam UU PPN 1984 tersebut diatur bahwa PPN dikenakan atas :

a). penyerahan  Barang Kena Pajak didalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;

b). impor Barang Kena Pajak (BKP)

c). penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;

d). pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah   Pabean;

e). pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean ke dalam Daerah Pabean;

f). ekspor Barang Kena Pajak  Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;

g). ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;

h). ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.

Jenis Barang Yang Dikecualikan dari pengenaan PPN  (Pasal  4A) :

a). barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya;

b). barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;

c). makanan dan minuman yang disajikan dihotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya,  meliputi makanan dan  minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan

d). uang, emas batangan, dan surat berharga.

 

  SUBYEK  PAJAK (PKP)

  1. Subyek Pajak PPN adalah Pengusaha Kena Pajak, yaitu pengusaha yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa kena Pajak.
  2. Pengusaha ( perusahaan) yang bukan Pengusaha kecil yang menyerahkan BKP/JKP.
  3. Pengusaha (perusahaan ) kecil yang menyerahkan BKP/JKP , dan memilih menjadi Pengusaha kena Pajak.

Kewajiban PKP:

  1. Melaporkan usahanya menjadi PKP

b, Memungut, menyetorkan dan melaporkan PPN /PPn.BM yang terutang

Jenis Jasa yang tidak dikenakan PPN (Pasal 4A)

  1.    jasa pelayanan kesehatan medis;
  2. jasa pelayanan sosial;
  3. jasa pengiriman surat dengan perangko;

d.jasa keuangan

  1. jasa asuransi
  2. jasa keagamaan
  3. jasa pendidikan
  4. jasa kesenian dan hiburan;
  5. jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;
  6. jasa pengangkutan umum di darat dan air serta jasa pengangkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan luar negeri;
  7. jasa tenaga kerja
  8. jasa perhotelan;
  9. jasa yang di sediakan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum;
  10. jasa penyediaan tempat parkir;
  11. jasa telepon umum yang menggunakan uang logam;
  12. jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan
  13. jasa boga atau katering.

 

  1. Pengusaha Kena Pajak (PKP)

Berdasarkan Pasal 1 angka 15 UU PPN, Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan/ atau penyerahan JKP yang dikenai pajak berdasarkan UU PPN .

Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan BKP meliputi baik Pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi PKP maupun pengusaha yang seharusnya dikukuhan menjadi PKP, tetapi belum dikukuhkan. Penyerahan  Barang yang dikenai pajak harus memenuhi syarat syarat Sebagai berikut :

  • Barang berwujud yang diserahkan merupakan BKP
  • Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan BKP Tidak berwujud
  • Penyerahan dilakukan di Daerah Pabean; dan
  • Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya

Kewajiban PKP (Pasal 3A)

PKP diwajibkan :

  • Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP
  • Membuat Faktur Pajak Yang Terutang;
  • Menyetorkan PPN yang masih harus dibayar dalam hal Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan seta menyetorkan Pajak Penjualan atas Barang mewah yang terutang; dan
  • Melaporkan Penghitungan Pajak

Kewajiban diatas tidak berlaku untuk pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Adapun kewajiban memungut Pajak yang Terutang diwujudkan dalam bentuk kewajiban membuat faktur pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat( 1 )UU PPN yang menentukan bahwa PKP wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap melakukan penyerahan BKP dan atau  penyerahan JKP, PKP diberikan Nomor Pokok Pengusaha Kena Pajak (NP PKP)

  1. Penyerahan dan bukan Penyerahan (Pasal 1A)

(1). Yang termasuk dalam pengertian penyerahan BKP adalah:

  1. penyerahan hak atas BKP karena suatu perjanjian ;
  2. pengalihan BKP karena suatu perjanjian sewa beli dan/ atau perjanjian sewa guna usaha (leasing)
  3. penyerahan BKP kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;
  4. pemakaian sendiri dan/ atau pemberian cuma-cuma atas BKP;
  5. BKP berupa persediaan dan/ atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan;
  6. penyerahan BKP dari Pusat ke Cabang atau sebaliknya dan/ atau penyerahan BKP antar Cabang;
  7. penyerahan BKP secara konsinyasi; dan
  8. penyerahan BKP oleh PKP dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari PKP kepada pihak yang membutuhkan BKP.
  9. Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak

Berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU PPN  BKP adalah barang berwujud yang menurut sifat dan hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud yang dikenakan PPN. Definisi ini sudah mencakup semua jenis barang karena setiap barang terdiri atas barang berwujud dan barang tidak berwujud.

Berdasarkan Pasal 1 angka 6 Jasa Kena Pajak setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebakan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk pemesan yang dikenakan PPN.

  1. Daerah Pabean dan Kawasan Berikat

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Daerah Pabean UUP PPN adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan,dan ruang udara, serta tempat tertentu yang di Zona Ekonomi Ekslusif dan Landasan Kontinen yang didalamnya berlaku UU yang mengatur mengenai Kepabeanan

  1. Saat dan Tempat Terutang (Pasal 11 UU PPN)

(1). Terutangnya pajak terjadi pada saat :

  1. penyerahan BKP;
  2. impor BKP
  3. penyerahan JKP
  4. pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean;
  5. pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean;
  6. ekspor BKP Berwujud;
  7. ekspor BKP Tidak Berwujud; atau
  8. ekspor Jasa Kena Pajak.

(2). Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan BKP atau JKP atau dalam hal pembayaran  dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean, saat terutangnya Pajak adalah pada saat pembayaran.

(3). Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan saat lain sebagai saat terutangnya pajak dalam hal saat terutangnya pajak sukar ditetaokan atau terjadi perubahan ketentuan yang dapat menimbulkan ketidakadilan.

(4) Tempat Terutang PPN

*Untuk penyerahan BKP/JKP tempat terutang pajak adalah :

  1. Tempat Tinggal;
  2. Tempat Kedudukan;
  3. Tempat Kegiatan Usaha;
  4. Tempat lain.

* Dalam hal impor, terutangnya pajak terjadi di tempat BKP dimasukkan dan dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

* Orang Pribadi atau Badan yang memanfaatkan BKP tidak Berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean terutang pajak di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha.

* Untuk kegiatan membangun sendiri oleh PKP yang dilakukan tidak dalam lingkungan pekerjaannya atau oleh bukan PKP, di tempat bangunan tersebut didirikan.

 

  1. Faktur Pajak, Nota Retur

Berdasarkan Pasal 1 angka 23 Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh PKP  yang melakukan penyerahan BKP atau JKP.

Faktur pajak harus dibuat pada :

a). Saat penyerahan BKP dan atau penyerahan JKP;

b). Saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan dan atau penyerahan JKP;

c). Saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau

d). Saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Dalam memori penjelasan Pasal 13 Ayat 1 UU PPn ditegaskan ada 3 macam faktur Pajak yaitu :

1). Faktur Pajak Standard

2). Faktur Pajak Sederhana

3). Dokumen tertentu yang diperlakukan sebagai Faktur Pajak Standard

                Faktur Pajak Standard sekurang-kurangnya mencantumkan :

  1. a) Nama alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena pajak
  2. b) Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak dan atau penerima Jasa Kena Pajak;
  3. c) Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan Potongan harga;

d). Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;

e). Pajak Penjualan Barang Mewah yang dipungut;

  1. f) kode, nomor, seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak ; dan
  2. g) nama, jabatan dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak

Nota Retur suatu nota yang harus dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak dalam hal terjadi pengembalian Barang Kena Pajak oleh pembeli. Nota Retur ini akan dipergunakan oleh PKP Penjual maupun Pembeli untuk mengkoreksi Pajak Keluaran maupun Pajak Masukan

 

  1. TARIF PAJAK DAN CARA MENGHITUNG PAJAK.

Dasar Pengenaan Pajak (DPP PPN)

Berdasarkan Pasal 1 angka 17 Dasar Pengenaan Pajak adalah:

  • Nilai berupa uang yang dijadikan dasar menghitung pajak yang terutang dengan mengalikan DPP tersebut dengan Tarif pajak.
  • Jenis DPP :

– Harga Jual untuk penyerahan BKP

– Penggantian, untuk penyerahan JKP

– Nilai Import, untuk impor BKP

– Nilai Eksport,untuk ekspor BKP

-Nilai lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Tarif PPN dan PPn BM

  • Tarif PPN adalah 10%
  • Atas ekspor Barang dikenakan tarif pajak dengan 0%
  • Dengan Peraturan Pemerintah , tarif pajak dapat diubah menjadi serendah-rendahnya 5% dan setinggi-tingginya 15%
  • Tarif PPn BM adalah 10% dan 20%
  • Atas ekspor Barang Mewah dikenakan pajak dengan tarif 0%
  • Dengan Peraturan Pemerintah tarif pajak diubah menjadi setinggi-tingginya 35%.

 

  1. Hubungan Istimewa dan Kaitannya dengan DPP

Berdasarkan Pasal 18 ayat (3) UU Pajak Penghasilan, Direktur Jendral Pajak berwenang untuk menentukan berwenang kembali besarnya DPP atau besarnya Dasar Pengenaan Pajak sesuai dengan keadaan seandainya diantara para wajib pajak terdapat Hubungan Istimewa.

  1. Penghitungan Dan Pelaporan

Berdasarkan Pasal 3 Ayat (1) dan Pasal 4 ayat( 1)  UU KUP, setiap Wajib Pajak wajib mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT). SPT wajib di isi dengan benar, lengkap dan jelas dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, Angka Arab, dan Satuan Mata Rupiah, PKP wajib menyampaikan Wajib Masa SPT, Masa PPN.

Penghitungan PPN dilakukan melalui penghitungan Pajak Masukan dan Pajak Keluaran dalam satu masa Pajak. Selisih antara Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran adalah merupakan Pajak yang harus dibayar oleh  Pajak yang harus dibayar PKP. Apabila Pajak Masukan lebih besar dari Pajak Keluaran dalam satu masa Pajak maka akan terdapat kelebihan pembayaran. Pemungut  PPN adalah bendahara  Pemerintah, Badan, atau Instansi Pemerintah yang ditunjukoleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan penyerahan Jasa Kena Pajak kepada bendaharawan Pemerintah, badan, atau instansi Pemerintah tersebut.

PPN yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana maksud Pasal 7 (sebesar 10% dan 0% untuk ekspor), dengan Dasar Pengenaan Pajak  yang meliputi Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau Nilai lain

Penyetoran PPN oleh PKP harus dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak dan sebelum SPT Masa PPN disampaikan. SPT Masa PPN itu disampaikan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak

 

  1. Kredit Pajak Masukan

                Berdasarkan Pasal 1 angka 24, Pajak Masukan adalah PPN yang seharusnya dibayar oleh PKP karena perolehan BKP dan/ atau Perolehan JKP dan/ atau pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean, dan/ atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean dan/atau Import BKP.

Pengkreditan Pajak Masukan

Berdasarkan Pasal 9 UU PPN :

  • Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama .
  • Apabila tidak dapat dikreditkan dalam masa pajak yang sama, pajak masukan masih bisa dikreditkan pada masa pajak berikutnya, selambat-lambatnya 3 bulan setelah berakhirnya masa pajak yang bersangkutan sepanjang :
  • Belum dibebankan sebagai biaya
  • Belum dilakukan pemeriksaan oleh fiskus , kecuali  dalam pemerilsaan  tersebut diketahui bahwa  perolehan BKP/JKP yang bersangkutan telah dibukukan.
  • Bagi PKP yang belum berproduksi sehingga belum melakukan penyerahan yang terutang pajak, Pajak Masukan atas perolehan dan impor barang modal dapat dikreditkan.
  • Pajak Masukan yang dikreditkan harus menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 Ayat (5) dan ayat (9).
  • Apabila dalam suatu Masa Pajak , Pajak Keluaran lebih besar dari pada Pajak Masukan, maka selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor oleh Pengusaha Kena Pajak.
  • Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dikreditkan lebih besar dari pada Pajak Keluaran, maka selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dikompesasikan ke Masa Pajak berikutnya.
  • Atas kelebihan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diajukan permohonanan pengembalian pada akhir tahun buku

Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan

  • Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
  • Perolrhan Barang Kena Pajak atau Jasa kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha
  • Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep, statiom wagen, van dan kombi kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan;
  • Pemanfaatan Barang Kena pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagap Pengusaha Kena pajak.
  • Perolehan Barang kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bukti pungutannya berupa Faktur Pajak Sederhana;
  • Perolehan Barang Kena pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan;
  • Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa kena Pajak dari luar daerah pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan perundang-undangan;
  • Perolehan Barang Kena Pajak atau jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak;
  • Perolehan Barang kena Pajakl dan Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang diketemukan pada waktu dilaksanakan pemeriksaan.

.

  1. Pencatatan Transaksi PPN dan PPnBM

                Pencatatan Transaksi PPN dan PPnBM secara terus menerus dan dimuat dalam SPT Masa PPN bentuk formulir 1107 yang terdiri dari:

a). Induk SPT Masa PPN;

b). Lampiran SPT PPN.

KETENTUAN KHUSUS PPN dan PPn.BM.

1). Fasilitas khusus di bidang PPN/PPn.BM tidak dipungut, dibebaskan.(Psl 16B UU PPN).

  1. Pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan pajak, baik untuk sementara waktu maupun selamanya , untuk:

– kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean;

– penyerahan BKP tertentu atau penyerahan JKP tertentu;

-impor BKP tertentu;

-pemanfaatan BKP Tidak Berwujud tertentu dari Luar Daerah Pabean: dan

-pemanfaatan JKP tertentu dari Luar Daerah Pabean.

  1. Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan BKP dan/atau perolehan JKP yang atas penyerahannya tidak dipungut PPN dapat dikreditkan.
  2. Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan BKP dan/atau perolehan JKP yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN tidak dapat dikreditkan.

 

2) Pajak terutang atas penyerahan BKP dan atau penyerahan JKP kepada Pemungut PPN dipunut, disetor oleh Pemungut PPN. (Psl 16A UU PPN)

 

 3) PPN Atas Kegiatan Membangun Sendiri ( Pasal 16C UU PPN) :

                Atas  kegiatan membangun sendiri terutang Pajak Pertambahan Nilai. Yang dimaksud dengan kegiatan membangun sendiri adalah kegiatan membangun bangunan yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain. Sedangkan yang dimaksud dengan bangunan berupa satu atau lebih konstruksi teknik yang ditaman atau dilekatkan secara tetap pada satu kesatuan tanah dan /atau perairan dengan kriteria :

1) konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis, dan/atau baja:

2) diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha: dan

3)  luas keseluruhan paling sedikit 300m2 (tiga ratus meter persegi).

Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak.

Atas kegiatan membangun sendiri dikenakan PPN dengan tarif 10% (sepuluh persen) dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak.

Dasar Pengenaan Pajak atas kegiatan membangun sendiri adalah 40% (empat puluh persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun sendiri, tidak termasuk harga perolehan tanah.

Pajak Pertambahan Nilai yang terutang setiap bulan dihitung dengan cara:

                PPN = (40% x jumlah biaya yang dikeluarkan) x 10%.  

4) PPN dikenakan atas penyerahan BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh PKP, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) dan huruf c UU PPN . (Pasal 16D UU PPN).

KONSEP DASAR PAJAK INTERNASIONAL

hukum-pajak-international

 

  1. Konsep Dasar Perpajakan Internasional

Pada era globalisasi sekarang ini terdapat perkembangan kegiatan ekonomi yang menglobal dan menumbuhkan investasi internasional dan yang pada akhirnya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Dari sisi perpajakan, globalisasi menciptakan permasalahan sendiri. Transaksi lintas negara menimbulkan konsekwensi pemajakan yang tidak sederhana karena setiap negara mempunyai kedaulatan dalam memajakan lalu lintas ekonomi, baik atas penduduk maupun bukan penduduk yang ada di negaranya. Akibatnya, transaksi lintas negara menimbulkan benturan dalam masalah yuridiksi dan hak pemajakannya.

Pesatnya kegiatan ekonomi di era globalisasi ini telah melewati batas-batas negara, sehingga menimbulkan permasalahan tersendiri dari sisi perpajakan. Prinsip-prinsip pemajakan yang berbeda-beda di setiap negara dapat memunculkan pajak berganda internasional (international double taxation).

  1. Pemajakan Transaksi Lintas Negara.

Transaksi lintas negara dapat menimbulkan permasalahan dalam bidang perpajakan.  Hukum Pajak Internasional Indonesia secara umum dapat dikatakan berlaku terbatas hanya pada subyek dan obyek yang berada di wilayah Indonesia saja. Dengan kata lain terhadap orang atau badan yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak berkedudukan di Indonesia pada dasarnya tidak dikenakan pajak berdasarkan undang-undang Indonesia. Namun demikian, Hukum Pajak Internasional Indonesia dapat berkaitan ( berhubungan) dengan subyek maupun obyek yang berada di luar wilayah Indonesia sepanjang ada hubungan yang erat, yaitu dalam hal terdapat hubungan ekonomis atau hubungan kenegaraan dengan Indonesia.

Menurut Rochmat Sumitro, azas-azas perpajakan adalah sebagai berikut :

  1. Azas domisili.

Berdasarkan azas domisili , subyek pajak dikenakan pajak di negara tempat subyek pajak tersebut berdomisili. Umumnya, negara ini menerapkan prinsip world wide income, yaitu penghasilan akan dikenakan pajak di negara domisili, baik yang diperoleh dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Indonesia termasuk negara yang menggunakan azas ini.

  1. Azas Sumber.

Berdasarkan azas sumber pajak dikenakan berdasarkan tempat sumber penghasilan berasal.

  1. Azas kewarganegaraan

Berdasarkan azas kewarganegaraan, pengenaan pajak didasarkan pada status kewarganegaraan seseorang . Jadi, setiap orang yang menjadi warga negara di suatu negara akan dikenakan pajak di negara tersebut, walaupun penghasilannya diterima dari negara lain. Contoh negara yang menganut azas ini adalah Amerika Serikat.

  1. Azas campuran dari azas-azas diatas .

 

  1. Azas teritorial.

 Berdasarkan azas ini, pajak dikenakan atas penghasilan yang diperoleh di wilayah (teritorial) suatu negara. Jadi yang dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang diperoleh dalam wilayah negara tersebut, sehingga atas penghasilan yang diperoleh dari luar negara tersebut tidak dikenakan pajak.

Prinsip-prinsip pemajakan berbeda yang dianut di masing-masing negara menjadi cikal bakal munculnya pajak berganda internasional ( international double taxation).

Pada dasarnya pajak internasional berlandaskan pada ketentuan perpajakan domestik yang berlaku terhadap wajib pajak dalam negeri yang memperoleh penghasilan dari luar negeri dan terhadap wajib pajak luar negeri yang memperoleh penghasilan dari Indonesia. Selain ketentuan domestik pajak internasional juga berlandaskan pada perjanjian perpajakan dan praktik perpajakan (Gunadi, 1970).Dengan kata lain, pajak internasional akan berbicara mengenai bagaimana pemajakan atas penghasilan orang asing atau perusahaan (badan) asing yang diterimanya dari Indonesia, dan bagaimana pemajakan atas penghasilan orang atau perusahaan (badan) Indonesia atas penghasilan yang diterima dari luar negeri, dengan berdasarkan undang-undang domestik dan undang-undang negara lain, serta perjanjian perpajakan (tax treaty)

Dimensi pajak internasional cukup luas, meliputi aturan pajak internasional yang sudah ada dalam Undang-undang Pajak Indonesia, aturan perpajakan yang ada di UU.Pajak Negara lain yang bersinggungan serta persetujuan penghindaran pajak yang telah dibuat Indonesia dengan negara lain. Dengan demikian pemajakan transaksi lintas negara dapat dilakukan dengan mengacu kepada ketentuan-ketentuan pajak internasional.

*Pengertian Domisili Fiskal

Domisili fiskal (fiscal domicile) atau fiscal resident adalah status kependudukan yang digunakan untuk tujuan pemajakan. UU PPh Indonesia menggunakan istilah subyek pajak dalam negeri untuk penduduk dan istilah subyek pajak luar negeri untuk bukan penduduk.

*Subyek Pajak Dalam Negeri.

Sesuai Pasal 2 ayat (3) UU PPh , maka kriteria dari subyek dalam negeri adalah sbb :

Subyek pajak orang pribadi dalam negeri menjadi wajib pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Subyek pajak badan dalam negeri menjadi wajib pajak sejak saat didirikan, atau bertempat kedudukan di Indonesia.

Subyek Pajak Dalam Negeri:

  1. Orang pribadi;
  2. Badan;
  3. Warisan yang belum terbagi.

Subyek Pajak Luar Negeri:

  1. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 ( seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
  2. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia , yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Subyek pajak luar negeri, baik orang pribadi maupun badan sekaligus merupakan wajib pajak, karena menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia atau menerima/ atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Penghasilan wajib pajak luar negeri yang menjadi obyek pemotongan PPh Pasal 26 adalah :

  1. dividen;
  2. b. bunga termasuk premium, dikonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
  3. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
  4. imbalan, sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;

e.hadiah dan penghargaan;

  1. pensiun swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau
  2. keuntungan, karena pembebasan utang
  3. 3. Konsep Juridical Versus Economic DoubleTaxation.

Pajak berganda internasional terjadi karena  pada dasarnya tidak ada hukum internasional yang mengatur tentang hal tersebut sehingga terjadi bentrokan hukum antar dua negara atau lebih. Pajak berganda internasional terjadi apabila pengenaan pajak dari dua negara atau lebih saling menindih, sedemikian rupa sehingga orang-orang yang dikenakan pajak di negara-negara yang lebih dari satu memikul beban pajak yang lebih besar daripada jika mereka dikenakan pajak di satu negara saja. Beban tambahan yang terjadi bukan semata-mata  disebabkan karena perbedaan tarif dari negara-negara yang bersangkutan, melainkan karena dua negara atau lebih bersamaan memungut pajak atas obyek dan subyek yang sama.

Pajak berganda internasional akan timbul, karena atas satu obyek dan subyek pajak yang sama dikenakan pajak lebih dari satu kali sehingga menimbulkan beban berat bagi subyek pajak yang dikenakan tersebut.

  1. Sumber Hukum Perpajakan Internasional

Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro beberapa sumber hukum pajak internasional yaitu :

  1. Hukum Pajak Nasional / Unilateral yang mengandung unsur asing misalnya :

* Pasal 5 UU PPh mengenai Bentuk Usaha Tetap (BUT).

Yang dimaksud dengan bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia namun menjalankan usaha atau melakukan kegiatannya di Indonesia;

*Pasal 26 UU PPh mengenai pembayaran antara lain berupa dividen, royalti, kepada Wajib Pajak luar negeri yang dikenakan pajak sebesar 20% ( dua puluh persen );

* Pasal 4 UU PPh ( Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 ) mengenai pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean akan dikenakan PPN sebesar 10% ( sepuluh persen ).

  1. Traktat, yaitu kaedah hukum yang dibuat menurut perjamjian antarnegara baik secara bilateral maupun multilateral. Perjanjian secara bilateral yang telah dilakukan Indonesia dengan negara-negara lain sampai saat ini telah mencapai 49 Negara dalam bentuk Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda ( Tax Treaty ).Sedangkan perjanjian yang sifatnya multilateral, Indonesia terikat dalam perjanjian perpajakan model Organization for Economic Coorporation and Development ( OECD ) , maupun  model United Nation ( UN ) yang merupakan acuan dalam rangka perundingan perjanjian penghindaran pajak berganda.
  2. Keputusan Hakim Nasional atau Komisi Internasional tentang pajak-pajak internasional. Keputusan hakim nasional maupun komisi internasional yang memberikan putusan yang menyangkut adanya unsur internasional merupakan sumber hukum yang sifatnya mengikat juga bagi hukum pajak Indonesia.
  3. Prinsip Non Diskriminasi.

Untuk tujuan perpajakan pada prinsipnya dikenal non diskriminasi (tidak membedakan)  pengenaan pajak antara WP dalam negeri (WPDN) dan WP luar negeri (WPLN). Berdasarkan UU PPh Indonesia  dikenal istilah subjek pajak dalam negeri (resident) dan  istilah subjek pajak luar negeri untuk bukan luar penduduk (non resident). Pada umumnya, domisili fiskal tidak selalu dikaitkan dengan status kewarganegaraan seseorang atau penduduk menurut UU kependudukan. Indonesia termasuk negara yang menentukan domisili fiskal tanpa melihat apakah seseorang tersebut berkewarganegaraan atau tidak. Sedangkan Amerika Serikat juga termasuk negara yang menentukan domisili fiskal, tetapi tetap melihat status kewarganegaraan. Setiap warga negara Amerika Serikat secara otomatis akan menjadi penduduk (resident) untuk tujuan pemajakan di Amerika.

UU PPh tidak melihat status subjek pajak Orang Pribadi berdasarkan kewarganegaraan, namun pada faktor:

  1. tempat tinggal
  2. berapa lama berada di Indonesia;
  3. adanya niat bertempat tinggal di Indonesia.

Wajib Pajak dalam negeri baik orang pribadi maupun badan sesuai Pasal 4 ayat  (1 )UU PPh  akan dikenakan pajak baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia. Dengan kata lain, wajib pajak dikenakan pajak menggunakan prinsip world wide income. Sedangkan wajib  pajak luar negeri, baik orang pribadi maupun badan sekaligus merupakan wajib pajak, karena menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia atau menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Ketentuan Pasal 26 UU PPh, mengatur tentang pemotongan atas penghasilan yang bersumber di Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri (baik orang pribadi maupun badan) selain Bentuk Usaha Tetap.

Perbedaan antara wajib pajak dalam negeri dengan wajib pajak luar negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya antara lain :

  1. Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak atas penghasilan baik yang diterima atau yang diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, sedangkan wajib pajak luar negeri dikenai pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber Indonesia.
  2. Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan netto dengan tarif umum, sedangkan wajib pajak luar negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan.
  3. Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam satu tahun pajak, sedangkan wajib pajak luar negeri tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pjak Penghasilan karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui melalui pemotongan pajak yang bersifat final.

 

  1. Konsep Anti Tax Avoidance.

Perusahaan yang saling berhubungan / ada hubungan istimewa ( related parties atau affiliated parties) sering mengatur harga yang menyebabkan harga kurang wajar atau kurang lazim ( arm’s length principle) dengan motif melakukan tax avoidance.

Berdasarkan Pasal 18 ayat (3) dan (3A) UU Nomor 36 Tahun 2008 dan Permenkeu Nomor 160/PMK.04/2010 untuk Bea Masuk, dua atau lebih perusahaan yang saling berhubungan disebut mempunyai hubungan istimewa antara lain apabila :

  • Kepemilikan saham minimal 25 %;
  • Pengendali perusahaan berada di tangan satu keluarga;
  • Yang merupakan satu group dari satu keluarga;
  • Penguasaan teknologi yang dipakai dalam proses produksi;
  • Keterkaitan perusahaan merupakan sinergi / integrated system;
  • Hubungan sebagai pekerja dan pemberi kerja;
  • Secara bersama dikendalikan atau mengendalikan pihak lain yang sama
  • Dikenal sebagai partner kerja / rekan dagang.

Transfer pricing yang dilakukan melalui Tax avoidance dapat berupa :

  1. Penjualan, pengalihan, pembelian, atau peralihan barang berwujud maupun barang tidak berwujud ( intangible goods);
  2. Sewa, royalti atau imbalan lain yang timbul akibat penyediaan / pemanfaatan harta berwujud dan tidak berwujud;
  3. Penghasilan atau pengeluaran sehubungan dengan penyerahan atau pemanfaatan jasa;
  4. Alokasi biaya;
  5. Penyerahan atau perolehan harta dalam bentuk instrument keuangan dan penghasilan / pengeluaran yang timbul akibat penyerahan harta dalam bentuk instrument tersebut.

Konsep untuk melakukan penghindaran tax avoidence tersebut antara lain :

Menentukan nilai yang wajar atau yang lazim dengan :

1) Metode harga sebanding ( comparable uncontrolled price= CUP);

2) Metode harga jual kembali ( resale price methode = RPM);

3) Metode harga pokok plus ( cost plus methode = CPM );

4) Metode laba bersih transaksional ( transactional net margin methode = TNMM );

5) Metode pembagian laba  berupa indikator tingkat laba( profiit level indicator)  atau laba bersih operasi ( net operating profit).

 

  1. Pengertian dan Tujuan Penghindaran Pajak Berganda ( P3B )

Pengertian Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda ( P3B ) adalah perjanjian pajak antara dua negara secara bilateral. Persetujuan penghindaran pajak ini mengatur mengenai pembagian hak pemajakan yang diterima atau diperoleh penduduk dari salah satu atau kedua negara pada pihak persetujuan.

Tujuan diadakannya Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda ( P3B ) ini adalah untuk    menghindari adanya pemajakan berganda atas penghasilan yang diterima atau diperoleh subyek yang sama.

P3B membatasi hak pemajakan suatu negara untuk mengenakan pajak atas suatu penghasilan tertentu. Ketika masing-masing ketentuan domestik suatu negara sama-sama mengenakan pajak atas penghasilan yang sama, maka berdasarkan P3B , hak masing-masing negara untuk mengenakan pajak  atas suatu penghasilan tersebut dapat dihilangkan atau dibatasi. Dengan kata lain, ketika suatu negara mengadakan P3B, maka negara tersebut setuju untuk dibatasi haknya dalam mengenakan pajak berdasarkan pembatasan yang diatur dalam P3B.

Kedudukan P3B di Indonesia terhadap UU Pajak Penghasilan diperlakukan sebagai lex specialis, sehingga apabila ada pertentangan antara UU Domestik Indonesia dengan P3B, maka atuaran-aturan yang ada dalam P3B akan didahulukan.

P3B tidak memberikan hak pemajakan baru kepada negara yang mengadakan P3B.Pengenaan pajak suatu negara atas suatu penghasilan, didasarkan atas ketentuan domestik negara tersebut. Dengan demikian, apabila dalam P3B suatu negara diberi hak pemajakan atas suatu penghasilan tertentu, akan tetapi negara tersebut berdasarkan hukum domestik tidak mengenakan pajak atas penghasilan tertentu tersebut, maka negara tersebut tidak dapat mengenakan pajak atas penghasilan tertentu tersebut , walaupun P3B memberikan hak pemajakan kepada negara tersebut.